Kisah Orang-orang China yang Kabur dari Negaranya (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Orang-orang China yang Kabur dari Negaranya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada satu bagian perjalanan, seorang imigran lain tampak memegangi tangan anak Sun yang berusia enam tahun saat rombongan mereka melalui jalur berlumpur di hutan. Bagian lainnya, Sun sedang menghibur anak-anaknya setelah mereka ditahan oleh otoritas dari Meksiko.

Tapi bagian yang paling berbahaya, sering tidak terekam oleh kamera, adalah saat mereka mengarungi sungai yang ada di dalam hutan. Istri Sun sempat terseret arus yang deras.

Dia hampir kehilangan nyawa kalau tidak ditolong tiga imigran dari Amerika Selatan dengan segera, kata Sun.

Karena keterbatasan bahasa, antara imigran China dan Amerika Selatan dalam satu kelompok ini tidak banyak bicara, katanya. "Tapi kami semua bersama-sama."

Keluarga Sun akhirnya berhasil sampai ke California, di mana Sun mendapat pekerjaan di pergudangan karena ada jaringan dari diaspora China. Seluruh perjalanan dari China ke Amerika menghabiskan waktu tiga bulan, katanya.

'Di China, saya tidak melihat harapan'

Wentao, 30 tahun, melakukan perjalanan ke AS selama tiga minggu dari timur China. Di kampung halamannya, ia kerja serabutan seperti mengajar ilmu bela diri, dan memperbaiki komputer.

Sama seperti Sun, kebijakan nol-Covid dan kendali politik yang kuat membuatnya berpikir tak ada masa depan lagi bagi dirinya. Karena khawatir dengan keselamatan keluarganya di kampung halaman, ia hanya memberi nama depannya saja untuk cerita ini.

Wentao mengatakan dia memutuskan untuk pergi ketika China menghapus batas jabatan presiden. Hal yang membuka jalan bagi Xi Jinping untuk memerintah negara tersebut tanpa batas. Pada Oktober, Xi kembali duduk sebagai presiden untuk ketiga kalinya.

Di bawah Xi, Beijing telah memperketat kendali atas ekonomi, mengeluarkan peraturan yang ketat di sektor swasta. Dia juga telah menerapkan kebijakan garis keras Covid yang artinya bagi sebagian warga tidak diizinkan untuk meninggalkan lingkungannya, atau bahkan gedung apartemen mereka.

Pada November, unjuk rasa meletus di banyak kota di China di mana sebagian demonstran menyerukan agar jabatan presiden Xi Jinping dicopot. Beijing menanggapinya dengan langkah pelonggaran kebijakan Covid.

Tapi bagi banyak warga China, seperti Wentao, khawatir dengan tren otoriter yang terus berlanjut. Pertumbuhan ekonomi yang mendorong negara untuk maju, tidak akan bertahan lagi.

Dia mau memulai kehidupan baru di AS, tapi untuk bisa menjalaninya dengan legal akan terasa sulit. Sebab, pandemi dan hubungan politik AS-China berdampak terhadap penurunan penerbitan visa bagi warga China. Pada 2021, AS menolak 79% visa turis yang diajukan dari China.

Dengan begitu, Wentao pergi dari Shanghai ke Eropa, sebelum terbang lagi ke Quito, Ekuador. Dia kemudian melakukan perjalanan 1.000 mil dengan bus dan perahu untuk mencapai Acandi, sebuah kota di Kolombia yang berbatasan dengan Panama.

Dari sana, dia berjalan kaki selama tujuh hari melewati hutan Darien bersama tiga pria China yang ia temui di perjalanan, sampai mereka mencapai kamp pengungsi di hutan dengan ratusan imigran dari seluruh dunia.

Wentao akhirnya berhasil sampai ke California, dan ia mengeluarkan uang untuk semua perjalanan ini mencapai Rp124 juta ($8,000) - sebagian besar adalah uang tabungan.

Diperkirakan rata-rata biaya yang dikeluarkan seorang imigran antara Rp77 - 155 juta ($5,000-$10,000). Biaya ini meliputi transportasi, membayar penyelundup, makanan, serta suap untuk gangster dan polisi korup.

Imigran China mengklaim bahwa mereka diperas dengan biaya lebih tinggi dibandingkan yang lain, karena mereka dipandang sebagai target yang lebih mudah.

Jalan panjang untuk kehidupan yang baru

Sebagian besar dari puluhan imigran mengatakan bahwa ironisnya, keluar dari China selama pandemi tak kalah sulitnya dengan perjalanan setelah keluar dari negara itu sendiri.

China menerapkan kontrol perbatasan yang ketat untuk memerangi Covid, memangkas penerbangan internasional hingga 97% pada 2021 jika dibandingkan dengan 2019, menurut data pemerintah.

Beijing juga menghentikan penerbitan paspor untuk "alasan yang tidak penting" di bawah apa yang disebut feibiyao buchugu - kebijakan melarang orang keluar dari China kecuali "sangat diperlukan".

Sejumlah imigran menggunakan agen abal-abal untuk memalsukan tawaran pekerjaan atau surat pendidikan dari luar negeri untuk mengajukan paspor - syarat yang dibutuhkan untuk ke luar negeri.

Meskipun China mengambil langkah untuk mengendorkan pembatasan Covid beberapa pekan terakhir, Wentao mengatakan hal itu tidak mengubah keputusannya untuk pergi.

"Apakah kebijakan nol-Covid tetap ada atau tidak, akar masalahnya tidak berubah," kata Wentao. "Di China, saya tidak melihat harapan."

Pemerintah China tidak membalas permintaan wawancara, tapi sebelumnya telah mempertahankan kebijakan negara ketika ditanya mengenai popularitas zouxian.

Media juga mendengar kekhawatiran yang sama dari imigran lain selain dari Wentao. Sebagian besar dari mereka akan mengajukan suaka setelah tiba di wilayah AS, sering kali atas dasar politik dan agama. Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun karena permintaan serupa juga menumpuk di sistem imigrasi.

Sementara itu, mereka menunggu, mencari pekerjaan atau bekerja untuk bertahan hidup. Sebagian besar tinggal di California atau New York, bergabung dengan komunitas besar berbahasa Mandarin untuk mendapat akses lebih baik pada pekerjaan dan perwakilan hukum.

Wentao memilih Fremont, California, agar lebih dekat dengan gerejanya. Dengan uang Rp29 juta ($1,900), ia membeli mobil Camry tahun 2003 yang kilometernya sudah mencapai 170.000 mil.

Ia tinggal di sebuah rumah dengan imigran lainnya. Dari Senin sampai Sabtu, dia bangun pukul tujuh pagi. Berkendara ke San Jose untuk bekerja bersama tim konstruksi China. Sehari upahnya Rp2,4 juta ($160). Minggu pagi, ia pergi ke gereja.

Sebagai penggemar serial TV paling hit di Barat, Yellowstone, Wentao memimpikan untuk berkunjung ke taman nasional tersebut suatu saat nanti.

"Tapi sebelum itu, saya akan menabung, dan membeli mobil baru yang bisa membawa saya ke sana," katanya.