Kebiasaan Makan Kita Ternyata Dipengaruhi Media Sosial (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kebiasaan Makan Kita Ternyata Dipengaruhi Media Sosial - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Akan jadi berbahaya, kata Cavazo, jika konten yang dilihat orang-orang melanggengkan citra tubuh yang tidak sehat, misalnya.

"Beberapa dari kita tidak begitu terpengaruh oleh konten, tetapi bagi orang lain yang sudah berisiko dan barangkali mengalami gejala gangguan makan, melihat lebih banyak konten yang menormalkan pola makan yang tidak sehat dapat mendorong seseorang untuk mengadopsi perilaku yang tidak sehat juga."

Namun meskipun banyak studi telah menemukan bahwa media sosial dapat mengubah cara kita berpikir tentang makanan, dan bahwa kita biasanya lebih banyak berinteraksi dengan konten yang menampilkan makanan tidak sehat, belum jelas apakah ini benar-benar mengakibatkan perubahan dalam perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.

"Jika saya membuka Instagram, melihat foto-foto makanan lezat, apakah saya akan benar-benar mencari makanan itu atau tidak tergantung seberapa laparkah saya saat itu, dan apakah saya bisa melakukannya," kata Higgs.

Dan ketika kita makan, kita tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang kita lihat online, imbuhnya.

"Penelitian menunjukkan bahwa, ketika membuat keputusan tentang apa dan seberapa banyak yang kita makan, kita menggabungkan potongan-potongan informasi yang berbeda," kata Higgs. "Pengaruh-pengaruh sesaat menyatu dengan cara yang tidak benar-benar kita pahami."

Penelitian telah menemukan bahwa pengaruh-pengaruh tersebut dapat meliputi tingkat pengetahuan gizi, bentuk tubuh ideal, keterampilan memasak, dan biaya.

Dan meskipun para peneliti bisa dengan mudah mengenali pengaruh media sosial pada pola makan kita, ada lebih banyak hal di kehidupan nyata yang tidak dapat diamati oleh penelitian, kata Higgs.

"Mungkin bagi beberapa orang dalam situasi tertentu media sosial bisa menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku mereka, tetapi itu hanya salah satu faktor," imbuhnya.

Pengaruh media sosial juga bervariasi pada tiap individu, kata Melissa Atkinson, seorang dosen psikologi di University of Bath, Inggris.

"Ada banyak perbedaan individu dalam cara kita menanggapi gambar-gambar di media sosial, dalam proses biologis dan psikologis kita," ujarnya.

Ada orang yang lebih suka melihat makanan, misalnya, berarti otaknya mengirimkan sinyal kesenangan setelah mereka melihat makanan tertentu, kata Atkinson. Orang-orang ini lebih mungkin merespons isyarat makanan di mana pun mereka menemukannya.

Tetapi bahkan tanpa jawaban pasti, para peneliti mencari berbagai cara untuk membuat media sosial memengaruhi pola makan kita secara positif. Tessitore, misalnya, menemukan cara untuk membuat makanan yang lebih sehat tampak lebih menarik di media sosial.

Dia membuat dua halaman Twitter yang identik, namun berbeda dalam satu hal - satu akun memiliki 23 pengikut, sementara yang lain memiliki lebih dari 400.000. Kedua akun tersebut menerbitkan twit yang sama tentang makanan sehat.

Dia menunjukkan peserta ke salah satu akun secara acak, dan setelah itu ketika ditanya seberapa besar mereka ingin makan salad, mereka yang melihat akun dengan lebih banyak pengikut lebih cenderung ingin makan salad.

Ini karena semakin kita menganggap seseorang punya pengaruh, semakin besar kemungkinan kita dipengaruhi oleh mereka, kata Tessitore.

Meskipun temuan ini tidak mencerminkan kenyataan, di mana kita biasanya terpapar beberapa aliran informasi, gambar dan twit, kita masih akan memperhatikan dan memproses berapa banyak pengikut yang dimiliki sebuah akun Twitter, kata Tessitore, jadi kemungkinan besar efeknya akan sama.

Tapi saat ini, masih sulit untuk mendorong orang-orang makan lebih sehat dengan unggahan tentang salad dan menjauhkan mereka dari gambar-gambar protein leleh yang menggiurkan.

"Kita melawan bertahun-tahun evolusi di sini," kata Pancer. "Ada alasan mengapa kita berevolusi untuk mencari makanan padat kalori dalam kondisi kelangkaan makanan. Tapi memakan makanan yang membuat kita senang itu salah - sekarang kita perlu menemukan cara untuk mengkalibrasi ulang ini."

Pancer menemukan dalam penelitiannya bahwa, segera setelah kita mengungkap mengapa melihat foto burger dan keripik terasa enak, efek perasaan-baik itu hilang.

Dengan kata lain - jika kita memahami bahwa kita secara biologis diprogram untuk merasa senang ketika melihat foto burger, mungkin kita bisa menjadi lebih kebal dari pengaruhnya.

Dalam sebuah penelitian, ia dan timnya meminta peserta untuk menonton salah satu dari dua video, satu dengan makanan rendah-kalori dan satu dengan makanan padat kalori. Mereka yang menonton lebih banyak makanan padat kalori merasa lebih positif setelahnya.

Pada bagian kedua penelitian, dia mengatakan kepada peserta bahwa perasaan mereka tidak dipengaruhi oleh makanan yang akan mereka lihat, tetapi oleh suara frekuensi rendah yang membangkitkan suasana hati, namun tidak terdengar oleh telinga manusia, sedangkan kelompok kedua tidak diberi tahu demikian.

Para peneliti kemudian memperlihatkan video lagi.

Mereka yang menonton video makanan padat kalori dan telah diberitahu tentang suara itu tidak lebih mungkin melaporkan bahwa mereka akan berinteraksi dengan video tersebut di media sosial.

Tetapi pada akhirnya, setelah kita menutup media sosial, pengaruh-pengaruh di dunia nyata pada apa dan bagaimana kita makan masih jauh lebih kuat, kata para ahli.

"Saya perkirakan bahwa isyarat makanan akan lebih kuat ketika bertemu langsung," kata Argeseanu. "Kita tidak berinteraksi dengan cara yang sama ketika melihat foto, dan kita tidak berinteraksi lama.

"Juga, beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika kita melihat banyak foto, perlahan-lahan pengaruhnya berkurang - kita mulai merasakan sesuatu yang terasa seperti kenyang, seolah-olah kita sudah memakan semuanya."

Tetapi setidaknya jika Anda hanya menikmati makanan-makanan itu di Instagram, Anda tidak perlu melonggarkan ikat pinggang.