
Pernah mendengar atau membaca kalimat yang memiliki makna serupa dengan tulisan ini? "Kita tidak bisa memilih orang tua (biologis) kita, namun kita bisa memilih mau menjadi orang tua seperti apa di masa depan."
Kalimat tersebut kurang lebih memiliki makna bahwa kita tidak perlu merasa berdosa dengan apa yang telah dilakukan oleh leluhur kita, tidak juga merasa minder dengan diri sendiri akibat perbuatan buruk yang dilakukan oleh leluhur kita, namun kita bisa menjadi pribadi baru yang lebih baik versi diri kita.
Tidak hanya masa kelam, kejayaan leluhur pun tak perlu berlebihan untuk dibanggakan. Itu adalah kerja keras mereka dalam menggapai kejayaan mereka.
Biasanya, dalam budaya kita, seringnya muncul di kala musim pemilihan umum. Entah pemilihan gubernur, walikota, atau bahkan presiden, beberapa calon menggunakan trik ini untuk menarik simpati pengikutnya dengan cara menunjukkan kehebatan leluhur-leluhurnya. Menunjukkan bahwa dia adalah keturunan pahlawan kemerdekaan, keturunan kerajaan, bahkan keturunan seorang yang dianggap paling mulia di kalangan mereka.
Hal itu sangat lumrah, namun esensinya bukan membanggakan leluhur. Mereka secara sadar ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki cerminan karakter seperti leluhur mereka. Jika tidak, itu akan mencoreng nama besar leluhur mereka di mata banyak orang.
Lalu, jika leluhur mereka pernah melakukan dosa yang secara universal menimbulkan kebencian, apakah mungkin dosa tersebut ditunjukkan dan mencoba dijadikan pelajaran kepada masyarakat agar hal itu dihindari? Oh, sangat tidak mungkin keburukan tersebut disebarluaskan. Bagi mereka, itu adalah aib.
Itulah manusia, mengabaikan (tidak mengakui) yang buruk, dan memperhatikan yang baik. Jarang sekali memperhatikan keduanya, dan menjadikannya sebagai pelajaran hidup.
"But I will never be ashamed of my history because it’s made me the person I am today." Itu adalah kalimat Alexa Scott, saat dia mengetahui bahwa kakek buyutnya pernah memiliki budak. Itu diketahui Alex Scott saat dia mempelajari leluhurnya di acara BBC, Who do you think you are.
Acara tersebut menunjukkan bahwa kakek buyut Alex Scott yang keempat, Robert Francis Coombs, adalah pemilik budak yang menyimpan lebih dari dua lusin budak di rumahnya di Jamaika, antara tahun 1817 dan 1832.
Jamak orang tahu bahwa perbudakan hanya dilakukan orang kulit putih. Namun, Alex Scott merupakan wanita yang memiliki leluhur berkulit hitam, benar-benar tidak menyangka bahwa leluhurnya juga melakukan hal tersebut. Hal itu membuat dia, yang secara nyata melakukan perlawanan terhadap rasisme, jadi sangat terpukul dan menangis dengan kenyataan yang dia terima.
"That ownership of a human life is so wrong. I don’t think that stories are told a lot about Black people owning slaves. People hide their past because maybe they see it as something that people will frown upon if they tell true stories. But I will never be ashamed of my history because it’s made me the person I am today."
Meskipun begitu, dia tidak merasa malu dengan kenyataan tersebut, dan dia merasa bersyukur bahwa dia menjadi pribadi yang seperti sekarang.
Bagi yang belum tahu, Alex Scott adalah Alexandra Virina Scott MBE, presenter televisi Inggris, dan mantan pemain sepak bola profesional yang bermain sebagai bek kanan untuk Arsenal W.F.C. di FA WSL.
Sangat mudah menerima kekayaan, kejayaan, dan keberhasilan leluhur kita. Namun, apakah kita mampu seperti mereka? Lalu, maukah kita menerima mereka sebagai leluhur kita, jika mereka memiliki sejarah yang kelam?