
Kalau kita diberi pilihan antara mempelajari rumus cepat atau mempelajari konsep materi yang lebih mendalam, mana yang lebih mudah dimengerti?
Ya, rumus cepat. Lebih cepat dipahami dan mudah digunakan.
Kita tak perlu repot-repot mempelajari ini dan itu, yang penting cepat paham, selesai. Meski terkadang rumus cepat tersebut hanya mencocok-cocokkan sesuatu yang bahkan tidak berkaitan sama sekali, namun kebetulan saja memang benar.
Nah, kenapa teori konspirasi mudah dipercayai (oleh beberapa atau kebanyakan) orang?
Ya karena teori tersebut lebih mudah dimengerti, dan hebatnya lagi teori tersebut juga sangat masuk akal.
Orang-orang yang mempercayai bahwa Bumi itu datar, tidak berotasi, dan pendaratan di Bulan oleh NASA hanya hoaks belaka, adalah mereka yang menginginkan fakta agar sesuai dengan akal mereka. Karena masuk akal, maka hal itu mestinya benar. Karena tidak masuk akal, maka hal itu tentunya salah.
Padahal sesuatu yang masuk akal belum tentu benar, dan sesuatu yang tidak masuk akal belum tentu salah.
Memang masuk akal, kalau kita ingin mengukur usia sesuatu/seseorang, maka kita harus tahu dulu kapan mereka lahir. Tapi siapa juga yang tahu kapan Bumi ini lahir, jika manusia saja termasuk makhluk yang baru di alam semesta?
Pertanyaan seperti ini sangat wajar untuk dipertanyakan. Namun sayangnya, mereka hanya sampai pada kesimpulan "oh mustahil banget umur Bumi udah miliaran tahun", atau "gak masuk akal. Itu hanya fiksi dalam sains yang bertentangan dengan agama", hanya karena pikiran mereka masih terbatas di sana.
Kalau pun diberi tahu bahwa cara menghitung umur Bumi adalah dengan melihat usia bebatuannya, lalu menghitung perubahan isotop radioaktifnya, maka mereka akan sulit menerimanya. Ya karena itu tadi, tidak mudah dimengerti.
Mirip dengan teori konspirasi yang juga pernah hits, bahwa virus corona adalah ulah kaum elit global yang ingin menguasai dunia. Ini lebih mudah dipahami daripada harus mempelajari virologi, epidemiologi, immunologi, dan cabang ilmu lainnya.
Kalau kata Teori Ramsey (di dalam matematika), manusia cenderung menghubungkan suatu data dengan data lain sampai membentuk suatu pola. Seperti ketika melihat awan di langit siang hari, maka biasanya kita mencocok-cocokkan bentuk awan tersebut dengan sesuatu yang pernah kita lihat sebelumnya, hingga mendapati pola dan menyimpulkan bahwa "awan hari ini mirip hewan tertentu".
Nah, kelimpahan informasi di era digital menyajikan data-data yang sulit untuk disaring. Kita cenderung melihat suatu data, lalu menghubungkannya dengan data lain, meski sebetulnya mereka tak saling berhubungan.
Jika ada informasi tentang seseorang atau organisasi yang bisa dijadikan sebagai pelaku konspirator, lalu mereka memiliki suatu agenda, dan (kebetulan) ada informasi tentang sarana manipulasi massal yang pas dengan agenda tersebut, maka data-data itu akan dikait-kaitkan sehingga terciptalah teori konspirasi. Karena masuk akal dan mudah diterima, kita lalu mempercayainya.
Dahsyatnya lagi, ada faktor psikologis manusia yang mendukung lahirnya teori konspirasi, ialah bias proporsionalitas (proportionality bias). Kita cenderung menganggap bahwa di balik peristiwa yang besar, harus ada penyebab yang besar.
Ditambah bias konfirmasi yang kita miliki, yakni lebih senang melihat bukti yang mendukung apa yang sudah kita yakini benar, dan mengabaikan atau menolak bukti yang bertentangan dengan kepercayaan kita, akan semakin membawa kita tenggelam dalam samudera teori konspirasi tersebut.
Bagaimanapun juga, teori konspirasi hanyalah sebatas teori. Bisa jadi benar, dan bisa jadi salah. Yang salah adalah meyakini kebenarannya tanpa menganalisa lebih jauh tentang data-data yang mendukung teori konspirasi tersebut—dan langsung manggut-manggut saja diberi data ini dan itu.
Tidak hanya untuk pemuja teori konspirasi saja. Kalau kita langsung percaya dan tak skeptis dengan berita yang berseliweran di dunia maya, kita masih sebelas dua belas dengan mereka, alias tak ada bedanya.
Maka dari itu, yuk pelajari sains. Sains mengajar kita untuk bersikap skeptis. Dengan sikap skeptis, kita jadi banyak bertanya. Dengan banyak bertanya, kita menemukan banyak jawaban. Dengan menemukan banyak jawaban, kita menggenggam ilmu pengetahuan di dunia.