Kisah Orang-orang Indonesia di Belanda Pada Masa Perang Dunia II


Pada dini hari tanggal 10 Mei 1940, Hitler mengirimkan pasukannya untuk menyerang Negeri Belanda yang awalnya negara netral. Namun, bagi Hitler, serangan mendadak (Rotterdam Blitz) ini langkah persiapan mengepung Negara Prancis. 

Akibat serangan mendadak itu, Ratu Belanda, Wilhelmina, beserta kabinet Perdana Menterinya, Dirk Jan de Geer, terpaksa mengungsi ke London – Inggris. Lima hari kemudian, tepat pada 15 Mei 1940, tentara Belanda tidak dapat menahan serbuan kilat pasukan Jerman, dan terpaksa menyerah tanpa syarat setelah Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) menghancurleburkan kota Rotterdam.

Jatuhnya Belanda di bawah pasukan Jerman ini menimbulkan goncangan hebat dan menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana nasib wilayah-wilayah jajahannya, terutama Hindia Belanda yang jauh di seberang lautan namun memiliki sumber kekayaan alam sangat besar. 

Saat itu, di Hindia Belanda, sistem pemerintahannya tetap berjalan di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Mr. A.W.L Tjarda van Starkenborgh Statchouwer, walaupaun penuh kecemasan dengan ancaman pasukan tentara Jepang yang sudah memperluas wilayah jajahannya ke arah selatan.

Di Hindia Belanda sendiri, berita mengenai penyerbuan mendadak oleh pasukan Jerman dan dilanjutkan pendudukan Negeri Belanda menyebabkan berbagai aksi di kalangan penduduk negeri. Pada hari penyerbuan pasukan Jerman tersebut, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Statchouwer mengumumkan negara dalam keadaan darurat di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Di Belanda, ketika seluruh wilayahnya diduduki dan dikuasai Jerman, terdapat sekitar 800 orang Indonesia yang hidup di negeri tersebut dengan berbagai alasan. Kebanyakan di antara mereka berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Ambon dan dari pulau pulau lainnya. Mereka terutama terdiri atas para pelaut, pelajar, pembantu rumah tangga, dan beberapa seniman seperti Raden Saleh Bustaman. 

Akibat pendudukan Jerman, banyak di antara mereka yang hidup sengsara karena kekurangan makanan, kedinginan, dan bahkan tewas di tangan rezim pendudukan tentara Jerman. Selama perang tersebut, diperkirakan ada sekitar 86 orang Indonesia atau lebih dari 10% meninggal dunia di Belanda.

Seperti halnya penduduk lokal (asli Belanda), ada cukup banyak orang Indonesia yang terlibat dalam gerakan perlawanan Belanda yang menentang pendudukan Nazi Jerman. Beberapa di antara mereka ada yang bekas Kadet di Royal Militer Academic (KMA) di Breda yang didemobilisasi tak lama setelah penyerbuan pasukan Jerman. 

Salah satu diantaranya adalah seorang bekas Kapten KNIL bernama Eduard Alexander Latuperisa, yang terlibat dalam “Jawatan Keamanan“ ilegal. Ia ditangkap pada bulan Maret 1942 dan kemudian dieksekusi oleh Polisi Gestapo Jerman pada tanggal 29 Juli 1943 di Leusderheide.

Kebanyakan orang Indonesia yang terlibat dalam gerakan perlawanan Belanda terhadap pasukan pendudukan Jerman, terdiri para pelajar (mahasiswa), terutama yang berasal dari bekas anggota Perhimpunan Indonesia (PI). 

Pada akhir tahun 1920-an, setelah zaman generasi Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, ada kelompok yang memiliki semboyan pekik perjuangan “Indonesia Merdeka“ menjadi bagian dari gerakan komunis, karena hanya dari sanalah mereka dapat memperoleh dukungan permanen bagi kemerdekaan tanah airnya. 

Hal ini tercermin dari kedudukan anggota parlemen pengurus Perhimpunan Indonesia, Rustam Effendi, yang pada tahun 1933 menjadi anggota parlemen dari Partai Komunis Belanda.

Pada awalnya, para aktivis mahasiswa Perhimpunan Indonesia itu hanya menerbitkan majalah, selebaran dan pamflet ilegal. Namun setelah gerakan mereka diketahui otoritas Jerman, Polisi Gestapo Jerman mengobrak-abrik organisasi mereka, baik di Leiden maupun di Amsterdam, serta menahan sejumlah aktivisnya. 

Sejak itu, organisasi mereka memperketat diri dengan membentuk sel-sel (kelompok kecil), semua itu atas perintah Ketuanya, yaitu Setiadjit Sugondo, di mana masing-masing kelompok hanya terdiri atas 5 orang anggota Perhimpunan Indonesia. Mereka berkolaborasi dengan kelompok-kelompok perlawanan lain yang terdiri dari orang-orang Belanda.

Selain menerbitkan selebaran ilegal dan menghimpun berbagai informasi penting, anggota Perhimpunan Indonesia ini juga terlibat dalam aktivitas untuk membantu penyelamatan orang-orang Yahudi maupun orang Belanda yang dikejar-kejar tentara Nazi. 

Di antara mereka terdapat nama Rachmat Kusumobroto. Ia bersama tunangannya, Petronella (Nel) van den Bergh, mahasiswa hukum dari Leiden, membantu menyembunyikan beberapa anak keturunan Yahudi, termasuk dua bersaudari Miri dan Emi Freibrun. 

Namun, nahasnya si Nella kemudian ditangkap dan dibunuh oleh tentara Nazi, sementara Rachmad dan kedua bersaudari Freiburn selamat dari penangkapan dan peperangan.

Beberapa anggota Perhimpunan Indonesia lainnya yang terlibat dalam perlawanan bersenjata, ada seorang mahasiswa ekonomi di Amsterdam bernama Jusuf Muda Dalam. Ia bergabung dalam organisasi yang dijuluki Knok-Ploeg (KP) Belanda, yang artinya pemuda pemberani.

Pada tahun 1944 , kelompok ini berhasil mengadakan serangan ke sebuah pos polisi Jerman, dan berhasil merampas 4 pucuk pistol Walther. Kemudian, para pejuang Indonesia di Rotterdam menerima lebih banyak lagi senjata senjata dari Gerakan Perlawanan Belanda, termasuk dua senapan, lima pistol dan amunisinya.

Senjata-senjata itu berasal dari para prajurit tentara Jerman yang melakukan desersi dan bersembunyi dengan keluarga-keluarga Belanda. Orang-orang Indonesia tersebut juga dilatih menggunakan senjata-senjata itu oleh salah seorang deserter Jerman yang berpangkat kopral, yang sudah jenuh dengan perang.

Ada pula seorang anak bangsawan dari Hindia Belanda bernama Irawan Soejono. Dia anak Raden Adipati Ario Soejono, yang menjadi menteri dalam Kabinet Belanda pimpinan Perdana Menteri Pieter Sjoerds Gerbrandy. 

Walaupun berlatar belakang bangsawan Hindia Belanda, Irawan Soejono ikut bertempur melawan pasukan Jerman pada masa pendudukan Nazi Jerman di Belanda dari tahun 1940-1945. Karena aksi heroiknya dalam bertempur melawan tentara nazi Jerman, Irawan Soejono diberi gelar pahlawan perang Belanda. Dan namanya diabadikan untuk sebuah jalan di kota Osdorp – Amsterdam - Belanda, jakni Irawan Soejonostraat (Jalan Irawan Soejono).

Ketika Negara Belanda dibebaskan oleh tentara sekutu karena semua pasukan tentara Jerman menyerah, para pejuang yang berasal dari Indonesia itu juga ikut berpartisipasi dalam Parade Pembebasan di Amsterdam pada tanggal 8 Mei 1945. Beberapa orang di antaranya, sepeti Irawan Soejono, Rustam Effendi, Setiadjit Sugondo dan Pamontjak diangkat menjadi anggota parlemen Belanda. 

Namun pada saat perang kemerdekaan Indonesia pecah dan berkobar, kebanyakan orang Indonesia ini memilih kembali ke Indonesia, ikut berjuang membantu perang mempertahankan kemerdekaannya.

Sayangnya, di antara mereka berhaluan komunis dan akibatnya beberapa di antara mereka kemudian disingkirkan dalam percaturan politik Indonesia. Misalnya Setiadjit Sugondo, dia dieksekusi pada 1948 karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun. Sementara Yusuf Mudadalam, yang pernah menjadi menteri pada kabinet Bung Karno zaman Orde Lama, dipenjara oleh Rezim Orde Baru.