
Jawaban singkatnya karena memang sengaja dirusak oleh orang Mesir saat itu, atau oleh kepercayaan lain di masa setelahnya, dengan tujuan melemahkan kekuatan dewa, anggota kerajaan, atau orang tertentu.
Sebelumnya, perlu dipahami bahwa kebudayaan Mesir kuno percaya patung-patung yang mereka buat merupakan tempat bersemayam roh atau dewa-dewa tertentu. Kekuatan para dewa atau roh tersebut akan "aktif" dengan melakukan ritual-ritual tertentu.
Bagi mereka, patung atau arca merupakan bentuk tiga dimensi bagi para roh atau dewa di alam dunia. Jadi, ketika sebuah patung rusak atau patah, maka akan mempengaruhi dewa atau roh di dalamnya, termasuk mengganggu kekuatan yang dimiliki oleh patung.
Orang mesir juga percaya bahwa ada dunia lain setelah kematian, dan kedua dunia ini saling berhubungan.
Mari kita mulai dari sebuah kisah.
Seorang ratu Mesir, bernama Hatshepsut, naik tahta menjadi ratu ketika suaminya, raja Thutmose II, meninggal dunia. Hatshepsut bersama anak tirinya, yang bernama Thutmose III, kemudian memerintah kerajaan Mesir bersama.
Setelah sang ratu meninggal, Thutmose III ingin menjadikan anaknya, Amunhotep II, sebagai raja. Sayangnya, hal ini tidak bisa dilakukan karena Amunhotep II tidak memiliki hubungan darah dengan ratu Hatshepsut.
Karena ambisinya sudah memuncak, Thutmose III menghalalkan segala cara agar anaknya bisa menjadi raja. Salah satunya dengan memerintahkan penghapusan nama Hatshepsut dari monumennya, dan menorehkannya kembali dengan nama-nama dari garis keturunan laki-laki melalui ayahnya.
Hal ini dilakukan untuk melegitimasi keturunannya. Dia ingin menegaskan bahwa mereka merupakan keturunan yang sah. Thutmose juga menyerang patung sang ratu dan mengubah nama di bangunannya, dari Hatshepsut menjadi Thutmose.
Lalu, mengapa yang dihancurkan bagian bagian hidung?
Masyarakat Mesir meyakini bahwa kepala ular akan melindungi mereka dari marabahaya atau musuh. Sehingga dengan hancurnya kepala sang ular, maka arwah sang ratu tidak terlindungi.
Selanjutnya, bagian yang juga dirusak ialah jenggot dan hiasan kepala. Keduanya merupakan simbol bangsawan atau kerajaan. Sementara hidung bertujuan agar sang ratu tidak bisa bernapas (di dunia lain). Memisahkan kepala dengan badan tentu bertujuan agar kekuatan sang ratu semakin melemah.
Tradisi merusak semacam ini kemudian kita kenal dengan istilah iconoclasm. Para egyptologyst meyakini bahwa kebiasaan merusak arca sudah muncul sejak awal kerajaan mesir muncul.
Sebenarnya bukan hanya arca yang dirusak tapi juga prasasti, mumi, dan bangunan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya prasasti kutukan bagi orang yang merusak makam atau arca. Perusakan terhadap atribut-atribut dewa atau raja menjadi hal yang biasa dalam sejarah Mesir Kuno.
Contoh penyerangan macam ini dapat dilihat selama masa pemerintahan Amunhotep IV. Sebelum ia berkuasa, dewa utama Mesir ialah Dewa Amun. Namun, ketika naik tahta, ia menyatakan bahwa Dewa Aten merupakan dewa utama untuk disembah.
Amunhotep IV juga mengganti namanya menjadi Akhenaten. Selama periodenya, pemujaan terhadap Dewa Amun dihentikan, dan nama Dewa Amun dihapus dari berbagai monumen.
Setelah meninggal, putranya, Tutankhamun, naik tahta. Pada periode ini, ia mengakhiri kultus Aten, dan memulihkan penyembahan Amun. Monumen bernama Akhenaten dan dewa Aten kemudian diserang, dan kuil Aten dihancurkan.
Perusakan kemudian tidak hanya dilakukan selama masa Mesir Kuno, tapi juga berlanjut ke periode setelahnya. Banyak umat dengan kepercayaan lain menghancurkan figur Mesir kuno. Tujuannya kurang lebih sama, yaitu melemahkan iman para penganut agama Mesir kuno.