Mengenal Suku Bugis dan Suku Makassar Lebih Dekat


Empat kelompok suku terbesar di Sulsel adalah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Namun, acapkali orang luar atau pendatang tidak dapat membedakan orang Bugis dan orang Makassar. 

Sangat sering, kata ‘Bugis’ dan ‘Makassar’ disandingkan, sehingga banyak yang menilai ‘Bugis’ dan ‘Makassar’ adalah sinonim. Bahkan para ilmuwan setempat ikut berperan menghilangkan perbedaan kedua suku tersebut, dengan melafal dan menuliskan kedua istilah tersebut menjadi kesatuan: ‘Bugis-Makassar’.

Kecenderungan ini memang berdasarkan beragamnya kesamaan identitas mereka sebagai dua suku bertetangga yang mengatasi perbedaan suku dan bahasa mereka. 

Mereka, mungkin, dua suku di Nusantara yangg sistem hierarkinya paling kaku dan rumit. Sangat hitam putih. Proses alkulturasi di segala aspek kehidupan, termasuk dalam seni sastra, menciptakan berbagai kesamaan budaya di antara kedua suku tersebut.

Faktor paling utama adalah sesama komunitas muslim mayoritas di Sulsel. Mereka menjadikan agama Islam sebagai bagian kesatuan, dan sangat esensial dari adat istiadat dan budaya mereka. Konon, etnis Bugis dan Makassar adalah dua suku yang paling panjang penantiannya di Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji, karena antrean menembus 15 tahun, bahkan lebih.

Sepanjang peradaban kedua suku tersebut, sejumlah ciri khas melekat pada manusianya. Salah satunya bagaimana mereka tetap berpandangan hierarkis sekaligus modern, dorongan untuk kompetitif sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan tapi juga merawat kesetiakawanan. 

Nilai-nilai keberanian, kecerdasan, ketaatan terhadap ajaran agama, kelihaian dalam bisnis, merupakan varibael yang menggerakkan kehidupan dinamis Bugis dan Makassar selama ini.

Mereka tipikal orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Tak peduli hukum positif mengancam mereka. Perilaku ini sering dialibikan dengan istilah Siri’.

Dalam kehidupan orang Bugis dan Makassar, Siri’ adalah unsur yang sangat prinsip dalam diri mereka. Tak ada pun satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain Siri’. 

Siri’ adalah jiwa mereka, harga diri, dan martabat mereka sebagai manusia. Tak ada lagi gunanya hidup bagi orang Bugis dan orang Makassar ketika rasa bangga dan malunya tercemar atau dicemarkan orang lain.

Kasus Siri’ paling sering terjadi hingga kini adalah kawin lari (Silariang). Bagi keluarga gadis yang dilarikan, dengan alasan suka sama suka pun, itu adalah penghinaan besar, aib, tak terampuni. Sehingga semua keluarga laki-laki sang gadis berkewajiban menemukan si laki-laki pujaan hati gadis itu. Bukan hanya antar pasangan, tapi melebar ke dendam antar keluarga. Banyak orang Bugis dan Makassar rela divonis berat oleh pengadilan demi mengembalikan Siri’keluarga.

Terlepas dari banyaknya persamaan dan eratnya hubungan serta saling menaruh hormat, sangat perlu ditegaskan bahwa orang Bugis dan Makassar tetaplah dua suku yang berbeda. 

Orang Bugis berpopulasi lebih dari empat juta orang, menghuni hampir seluruh daratan dan perbukitan sebelah tengah dan selatan. Sedangkan orang Makassar dengan populasi lebih dari dua juta menetap di ujung selatan semenanjung, tersebar di sepanjang tepi pantai maupun di pegunungan. 

Bahasa, contohnya. Kedua pihak, baik Bugis dan Makassar, tidak dapat saling mengerti, kala mereka berinteraksi dengan bahasa masing-masing.