Sejak Kapan Manusia Mulai Mengonsumsi Susu di Dunia? (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejak Kapan Manusia Mulai Mengonsumsi Susu di Dunia? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Masuk akal bahwa orang-orang yang tidak punya akses ke susu hewan tidak berada dalam tekanan evolusi untuk beradaptasi supaya bisa meminumnya.

Pertanyaannya, kenapa beberapa orang di kelompok penggembala mendapatkan sifat tersebut dan yang lainnya tidak?

Ségurel menyoroti para pengangon di Asia timur, misalnya Mongolia, yang tingkat persistensi laktasenya termasuk paling rendah, kendati mereka sangat mengandalkan susu hewan untuk sumber makanan.

Mutasi tersebut umum di populasi terdekatnya, di Eropa dan Asia barat, jadi ada kemungkinan bahwa ia akan menyebar ke populasi di Asia timur, tapi itu tidak terjadi. "Itu teka-teki besarnya," kata Ségurel.

Manfaat susu

Ségurel menduga bahwa minum susu mungkin memberi manfaat lain di samping sumber nutrisi. Orang yang memelihara hewan peliharaan terpapar pada penyakit hewan tersebut, yang bisa meliputi anthrax dan cryptosporidiosis. Susu mungkin menjadi antibodi terhadap beberapa infeksi ini. Dan memang, efek protektif susu dipandang sebagai salah satu manfaat menyusui anak-anak.

Tapi ketiadaan persistensi laktase sebagian bisa dijelaskan oleh peluang: siapa di dalam kelompok pastoralis yang kebetulan mendapat mutasi yang tepat. Sampai baru-baru ini jumlah manusia di Bumi jauh lebih sedikit dan ukuran populasi lokal lebih kecil, jadi beberapa kelompok akan terlewatkan, murni karena mereka tidak beruntung.

"Saya pikir bagian paling koheren dari gambaran ini adalah ada korelasi dengan cara hidup, dengan menggembala," kata Swallow. "Tapi Anda harus memiliki mutasi itu dulu. Hanya setelah itu seleksi alam bisa bekerja."

Dalam kasus pengangon Mongolia, Swallow menyoroti bahwa mereka biasanya meminum susu yang difermentasi, yang kandungan laktosanya lebih rendah. Bisa dibilang, kemudahan susu untuk diproses supaya jadi lebih bisa dimakan membuat meningkatnya persistensi laktase lebih membingungkan.

"Karena kita begitu pandai dalam beradaptasi secara budaya untuk memproses dan memfermentasi susu, saya sulit memahami kenapa kita beradaptasi secara genetik," kata mahasiswa Swallow di program doktorat, Catherine Walker.

Mungkin terdapat beberapa faktor yang mendorong persistensi laktase, tidak hanya satu. Swallow menduga kuncinya adalah manfaat nutrisi susu, misalnya kaya lemak, protein, gula, dan mikronutrien seperti kalsium dan vitamin D.

Susu juga merupakan sumber air bersih. Tergantung di mana komunitas Anda tinggal, Anda mungkin telah berevolusi untuk menoleransinya karena suatu alasan.

Tidak jelas apakah persistensi laktase masih secara aktif dipilih oleh evolusi, dan apakah ia akan tersebar lebih luas, kata Swallow.

Pada 2018, ia turut menyusun studi terhadap sekelompok penggembala di wilayah Coquimbo di Cile, yang mendapatkan mutasi persistensi laktase ketika nenek moyang mereka melakukan kawin silang dengan pendatang dari Eropa 500 tahun yang lalu. Sifat itu kini menyebar di populasi: ia dipilih oleh evolusi, seperti yang terjadi di Eropa utara 5.000 tahun yang lalu.

Namun ini merupakan kasus spesial karena orang Coquimbo sangat bergantung pada susu. Secara global, gambarannya sangat berbeda. "Saya pikir sifat tersebut menstabilkan diri, kecuali di negara tempat masyarakatnya bergantung pada susu dan kekurangan [makanan lain]," kata Swallow.

"Di Barat, di mana makanan kita begitu baik, tekanan selektif kemungkinan tidak ada."

Konsumsi susu menurun?

Berita dalam beberapa tahun terakhir memberi kesan bahwa banyak orang mulai meninggalkan susu. Situs berita Guardian, misalnya, menerbitkan berita bertajuk "How we fell out of love with milk" ("Bagaimana kita berhenti mencintai susu"), menjelaskan kebangkitan perusahaan yang menjual susu kacang dan gandum, dan berpendapat bahwa susu tradisional sedang menghadapi tantangan besar.

Namun statistik menunjukkan cerita berbeda. Menurut laporan IFCN Dairy Research Network, produksi susu global naik setiap tahun sebagai tanggapan atas meningkatnya permintaan. 

Tetap saja, data ini menyembunyikan tren yang lebih lokal. Studi tentang konsumsi makanan menemukan bahwa konsumsi susu di AS telah menurun dalam beberapa dekade terakhir—meskipun ia digantikan oleh minuman soda, bukan susu almond. Penurunan ini diimbangi dengan naiknya permintaan di negara berkembang, terutama di Asia—hal yang juga telah dicatat IFCN.

Sementara itu, studi tentang kebiasaan minum masyarakat di 187 negara mendapati bahwa minum susu lebih umum di kalangan orang tua, yang menandakan bahwa ia kurang populer di antara anak muda—meskipun ini tidak menjelaskan tentang konsumsi anak muda akan produk susu seperti yoghurt.

Bagaimanapun, tampaknya susu alternatif belum bisa mengerem selera masyarakat dunia akan susu sapi, setidaknya dalam satu dekade ke depan.

Walker menambahkan bahwa susu alternatif bukan "substitusi yang sepadan" untuk susu hewan. Terkhusus, banyak susu alternatif tidak mengandung makronutrien yang sama dengan susu sapi.

Walker mengatakan, susu alternatif paling bermanfaat bagi vegan dan orang yang alergi susu—reaksi terhadap protein dalam susu, dan tidak ada hubungannya dengan laktosa.

Sangat mengejutkan bahwa begitu banyak permintaan akan susu berasal dari Asia, tempat kebanyakan orang tidak mengalami persistensi laktase. Manfaat apapun yang dilihat masyarakat dalam susu melampaui kemungkinan masalah pencernaan atau kebutuhan untuk memproses susu.

Bahkan, FAO telah mendorong masyarakat di negara berkembang untuk memelihara hewan sumber susu non-tradisional, misalnya llama, supaya mereka bisa mendapatkan manfaat susu meskipun susu sapi tidak tersedia atau terlalu mahal.

Lebih jauh, studi penting yang diterbitkan pada Januari lalu menjelaskan tentang "diet kesehatan planet" yang dirancang untuk memaksimalkan dampaknya bagi kesehatan dan meminimalkan dampak pada lingkungan. Sementara diet tersebut menyarankan untuk mengurangi konsumsi daging merah dan produk hewan lainnya secara drastis, ia tetap menyertakan ekuivalen segelas susu dalam sehari.

Susu, tampaknya, belum dilupakan. Ia masih populer—meskipun tubuh kita telah berhenti berevolusi untuk meresponsnya.