
Diperkirakan bahwa pada tahun 2050 nanti, dunia akan dihuni sembilan miliar orang, yang berarti produksi pangan saat ini perlu ditingkatkan hampir dua kali lipat.
Saat pertumbuhan penduduk terus berkembang, ada kebutuhan nyata untuk mencari sumber makanan -terutama protein- selain daging tradisional dan ikan.
Menyantap serangga dikatakan menjadi salah satu cara untuk memenuhi masalah ini karena sifatnya yang ramah lingkungan, bergizi, dan dapat dipanen relatif murah dan mudah dalam kondisi yang tepat.
Mengapa santapan serangga belum biasa?
Diperkirakan, ada dua juta orang di seluruh dunia yang memakan serangga sebagai bagian dari santapan tradisional mereka, tetapi negara-negara Barat belum mengikutinya.
Ada 'faktor jijik,' kata lembaga Waste and Resources Action Programme (WRAP). Mereka mengatakan sikap Barat terhadap entomofagi -manusia makan serangga- cenderung negatif karena serangga dipandang sebagai hewan kotor dan membawa penyakit.
Bangkitnya dunia pertanian dan perubahan gaya hidup di masyarakat Barat juga menyebabkan serangga-serangga ini dipandang sebagai 'hama,' kata Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Nyamuk dan lalat yang menyerbu rumah dan menyengat manusia, rayap yang merusak kayu, serta serangga yang kadang masuk secara tak diinginkan dalam hidangan saat makan di restoran, semuanya memicu reaksi 'jijik,' tambahnya.
Namun, lambat laun terjadi pergeseran dalam sikap. Dan seni memakan serangga dianggap sebagai hal baru, yang memicu peningkatan pembelian sebagai kado yang tidak biasa.
Apa manfaat dari memakan serangga?
"Serangga-serangga itu adalah makanan super yang asli," kata Shami Radia, pendiri restoran Grub yang menjual berbagai serangga yang dapat dimakan. "Serangga memiliki protein yang tinggi, mineral dan asam amino, sehingga pantas jika kita menyantapnya."
Serangga juga lebih baik bagi lingkungan dibanding peternakan konvensional. Mereka bisa makan dari limbah-bio, tidak banyak menghasilkan gas rumah kaca, tidak banyak menggunakan air, dan tidak menghabiskan lahan dibanding hewan-hewan lainnya.
Serangga juga memiliki apa yang disebut efisiensi konversi pakan yang tinggi, karena mereka berdarah dingin. Rata-rata, serangga dapat mengonversi dua kilogram pakan menjadi satu kilogram massa serangga, sedangkan ternak membutuhkan delapan kilogram pakan untuk menghasilkan satu kilogram bobot badan.
Jenis serangga apa yang dimakan?
Menurut organisasi pangan dunia (FAO), terdapat sekitar 1.900 spesies serangga berbeda yang sudah digunakan sebagai makanan. Kelompok-kelompok serangga yang paling sering disantap yakni kumbang, ulat, lebah, tawon, semut, belalang, jangkrik, rayap, capung dan lalat.
Pemilik restoran serangga di Inggris mengatakan, masyarakat Inggris belum terpikir untuk menyajikan laba-laba dan kalajengking sebagai hidangan mereka.
Grub, sebagai restoran yang menawarkan serangga, menyadari, diperlukan waktu yang masih lama bagi orang-orang di Inggris untuk terbiasa menyajikan laba-laba dan kalajengking sebagai hidangan makan malam.
"Anda harus memikirkan upaya untuk pelan-pelan menarik konsumen. Bisa memulainya dengan memasak jangkrik di dalam tepung terigu, sehingga kita tidak langsung melihatnya sebagai seekor serangga betulan, dan mudah-mudahan itu akan membuat orang-orang lebih nyaman makan serangga."
Sejauh ini sudah ada berbagai kantin dan restoran di Inggris yang memasukkan serangga pada hidangan-hidangan yang lebih tradisional, seperti kumbang makaroni keju, bolognaise cacing, kue brownies cokelat bercampur jangkrik dan buah ceri, atau ditaburkan di atas pizza.
Mereka juga memasarkannya sebagai kudapan yang dijual bersama kudapan lainnya seperti kacang goreng atau biji chia.
Apakah ada permintaan pasar?
Para penjual serangga mengatakan telah terjadi pergeseran yang nyata dalam popularitas serangga yang dapat dimakan.
Nick Cooper, pemilik toko Crunchy Critters yang didirikan pada tahun 2012, mengalami tingkat pertumbuhan penjualan sebanyak 25% dari tahun ke tahun. Sebagian produk mereka dipasok ke sekolah-sekolah serta pusat kebugaran.
Ia mencatat adanya peningkatan penjualan, terutama saat perayaan Halloween dan periode perayaan sejenis.
"Orang-orang sekarang sudah tidak kaget lagi makan serangga," katanya. "Tidak ada faktor shock horor sekarang ini.”
Dia yakin suatu hari makan serangga akan menjadi sepopuler makan sushi. "Perilaku bisa diubah," katanya. "Udang terlihat jelek tapi rasanya lezat, dan tidak ada alasan mengapa makan serangga pun tidak bisa dinormalkan."