
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Apa Satu Hal yang Membedakan Manusia dengan Hewan? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Dari observasi Wilkinson, meskipun kelelawar hidup dalam lingkup kekeluargaan, mereka ternyata lebih memilih untuk membagi makanan kepada hewan yang paling kelaparan, tidak hanya kepada keluarga mereka.
Apa yang ditemukan Wilkinson kini dikenal sebagai 'kebaikan bertimbal balik'.
Kebaikan bertimbal balik adalah model kebaikan ihwal hewan membantu individu lain yang tidak berhubungan darah, yang mengakibatkan si baik kehilangan sesuatu untuk jangka pendek, tetapi mendapat keuntungan jangka panjang.
Jadi, jika ada kelelawar yang kelaparan ditolong oleh yang telah kenyang, aksi ini jauh di bawah sadar, secara insting dilakukan karena di masa akan datang mungkin saja keadaannya berubah. Yang kenyanglah yang menjadi si lapar. Dan dia pun ingin diperlakukan serupa.
Gerald Carter, peneliti dari Universitas Toronto, mengungkapkan, jika seleksi kekeluargaan telah diterima secara umum, kebaikan bertimbal balik cukup sulit untuk dilacak, karena memerlukan penelitian sepanjang umur hewan tersebut, untuk mengetahui kerugian dan keuntungan dari aksi baiknya.
Namun, poin paling penting terkait seleksi kekeluargaan dan kebaikan bertimbal balik adalah bahwa perilaku ini sebenarnya tidak murni kebaikan untuk mengutamakan individu lain saja. Keduanya ada karena akan menguntungkan si 'baik'.
Ini memperlihatkan bahwa semua bentuk kebaikan muncul dari sifat egois, setidaknya dengan tujuan untuk meneruskan gen.
Lalu bagaimana dengan manusia?
Jonathan Birch, profesor sains dari London School of Economics and Political Science mengungkapkan, "kita harus memisahkan antara sikap mementingkan orang lain yang berdasar pada biologi, dan yang berdasar pada psikologi," ungkapnya.
"Yang biologi adalah perilaku yang memiliki konsekuensi pada reproduksi, ini mengakibatkan si baik semakin sedikit bereproduksi dan si penerima kebaikan semakin banyak bereproduksi. Sementara yang psikologi adalah kebaikan yang motivasinya adalah kepedulian terhadap orang lain, hal yang sering manusia lakukan."
Pertanyaannya adalah - apakah kebaikan psikologi itu - hal yang mungkin kita sebut sebagai kebaikan yang tulus - adalah unik hanya dimiliki manusia, atau apakah ada hubungannya secara evolusi dengan apa yang berlaku pada hewan?
Michael Platt, pakar saraf dari Universitas Duke, Amerika, menegaskan bahwa hewan dan manusia jauh lebih banyak memiliki kesamaan dari yang semula kita kira.
"Dari sudut pandang saya, kebaikan tulus mungkin kurang tepat," kata Platt. "Saya tidak melihat ada yang spesial pada otak manusia, terkait motivasi perilaku mengutamakan individu lain, jika dibandingkan dengan otak monyet atau bahkan tikus."
Platt dan tim melakukan eksperimen perilaku terhadap monyet rhesus yang cenderung dermawan terhadap rekan-rekannya. Monyet, sama seperti manusia, adalah makhluk sosial, perilaku yang kemungkinan merupakan strategi yang membuat kita bisa membangun dan mempertahankan ikatan sosial.
Ketika peneliti melakukan pemindaian otak kepada primata tersebut, mereka menemukan sel otak yang berkaitan dengan sifat memberi. Sel ini juga ada di otak manusia.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa faktor-faktor yang membuat kita termotivasi untuk melakukan kebaikan secara psikologi, juga setidaknya ada pada sepupu-sepupu primata kita, bahkan mungkin dimiliki hewan lain.
"Ketika seseorang termotivasi untuk membantu, misalnya, pengungsi di Suriah, saya yakin bahwa motivasi itu berasal dari sel otak yang kita bicarakan ini," ungkap Platt.
"Dari seluruh perbedaan antara manusia dan hewan lainnya," tulis Darwin, "Moralitas adalah yang paling penting bagi manusia."
Namun, menurut Birch, "Sejumlah pihak menilai penjelasan secara evolusi dari moralitas adalah sebuah ilusi. Pasalnya, seleksi alam tidak peduli akan benar dan salah. Tetapi anggapan ini mungkin muncul karena kepercayaan berlebihan terhadap seleksi alam, dan jarang diapresiasinya evolusi budaya."
Berbeda dengan hewan lain, kita adalah produk dari budaya kita. Tambahan berupa evolusi budaya ini membuat pemahaman terhadap perilaku manusia lebih sulit dipahami.
"Jelas sekali bahwa evolusi budaya adalah proses yang penting pada manusia," ungkap Birch. "Jadi, pemahaman tentang kebaikan manusia sebagai produk dari evolusi budaya, berpotensi lebih gampang dipahami daripada hanya melihatnya sebagai produk dari evolusi genetika atau seleksi alam."
Namun, terlepas dari itu, berbahaya jika kita terlalu membedakan diri dari hewan lain. Egois jika kita tidak menyebut seleksi alam dalam faktor yang mempengaruhi perilaku baik manusia.
Jika dilihat, kemampuan mementingkan pihak lain pada simpanse, kerap dibandingkan dengan kemampuan serupa pada anak manusia. Sebuah jurnal ilmiah menunjukkan bahwa anak simpanse saling menenangkan satu sama lain jika dalam tekanan atau stres. Peneliti menilai perilaku ini mirip dengan sikap empati manusia.
"Menyatakan bahwa perilaku monyet dan hewan lainnya hanya termotivasi insting, terbantahkan oleh bukti ilmiah," ungkap Platt. Jika kita menyebut spesies kita mampu untuk berbuat kebaikan secara tulus, maka kita harus menyimpulkan pula bahwa setidaknya ada spesies lain yang memiliki karakter itu.
"Pasalnya, membuat garis batas antara manusia dan hewan akan menghambat pemahaman kita soal bagaimana dan mengapa kita termotivasi untuk memberi kepada orang lain," katanya.
"Menelusuri subyek ini diharapkan dapat membuat kita mengetahui makna kebaikan sejati di alam semesta ini. Jika kita nantinya dapat memahami mengapa manusia melakukan kebaikan, saya rasa kita bisa menjadi makhluk hidup yang lebih baik."