
Di dunia hewan, ada ruang untuk melakukan kebaikan kepada sesama hewan, ruang untuk memberi pertolongan. Namun, itu ternyata hanya dilakukan jika ada keuntungan tersembunyi bagi si baik.
Di suatu hari yang cerah di sebuah padang savana, sekumpulan kerbau sedang mencari makan sambil mengepak-ngepak telinga mereka agar lalat menjauh. Di punggung mereka, burung-burung mungil hinggap dan memakan parasit kulit di tubuh si kerbau. Hewan besar itu tidak tahu kalau ada burung di punggung mereka.
Namun, ternyata ada fakta kelam terkait adegan klasik ini. Sebuah penelitian mengungkapkan, burung-burung itu tidak hanya membersihkan kulit punggung kerbau dari parasit. Beberapa burung diam-diam melukai punggung si kerbau dan memakan darahnya.
Ini memperlihatkan bahwa pada hubungan simbiosis mutualisme paling terkenal antara herbivora dan burung sekalipun, terdapat kecenderungan organisme untuk berperilaku egois, mementingkan diri sendiri.
Faktanya, setiap interaksi mutualisme di alam, kebanyakan dinilai tidak stabil. Ini karena salah satu pasti akan mengambil untung berlebih dari yang lain. Ini semakin mengindikasikan bahwa sikap egois adalah sesuatu yang dominan di alam; sikap yang merupakan ciri tidak terelakkan dari seleksi alam.
Lalu apakah sikap tulus makhluk hidup, tanpa mengharapkan imbalan, benar-benar ada? Bagaimana pula kita memahami sikap dermawan manusia?
Darwin adalah pemikir yang sangat rajin. Dia berpikir sangat lama, jika ada perilaku organisme yang tidak sejalan dengan idenya terkait evolusi karena seleksi alam. Dia pun mengungkapkan bahwa kebaikan, sikap mendahulukan orang lain daripada diri sendiri, "adalah hal yang sulit dipahami, karena terlihat bertentangan dengan seluruh teori evolusi."
"Makhluk hidup yang siap mengorbankan hidupnya..." tulis Darwin di buku The Descent of Man, "tidak akan memiliki keturunan untuk melanjutkan naluri alaminya." Bagaimana gen yang 'tidak mementingkan diri sendiri ini' bisa bertahan, jika dia lebih banyak berbuat baik daripada memastikan keberlangsungan hidupnya sendiri?
Seluruh jenis hewan tampak bisa berbuat baik. Primata mencari kutu kawan-kawannya, burung saling memperingatkan satu sama lain jika ada predator, dan anjing liar Afrika menjaga anak dari kawan satu kelompoknya.
Sikap mementingkan orang lain ini tidak terlalu berdampak pada keselamatan si makhluk hidup. Namun, ternyata ada pula yang berdampak signifikan, bahkan pada hidup si baik.
Misalnya tupai tanah Belding, yang hidup berkelompok di barat laut Amerika. Mereka adalah santapan lezat bagi berbagai macam burung karnivora dan predator lainnya.
Ketika predator mendekati koloni tupai, tupai yang melihat predator akan berhenti bergerak (tidak kabur), lalu mengeluarkan suara-suara untuk memperingatkan rekannya bahwa mereka dalam bahaya.
Inilah yang menjadi perhatian Darwin. Hewan ini tidak hanya mengedepankan keselamatan hewan lain, tetapi juga mempertaruhkan hidupnya sendiri. Peneliti mengungkapkan, mengeluarkan suara akan memperbesar peluang si tupai menjadi santapan predator.
Namun, sekitar 100 tahun setelah Darwin mengemukakan teorinya, para biolog mulai bisa memformulasi hipotesa yang kemungkinan dapat menjelaskan perilaku itu.
Anekdot dari J.B.S. Haldane, pakar evolusi modern, diharapkan dapat menjelaskan hipotesa itu. Jika ditanya apakah dia akan meloncat ke sungai yang dalam dan deras untuk menyelamatkan saudaranya, dia menjawab, "tidak, saya tidak mau. Tapi saya mau meloncat jika itu dapat menyelamatkan dua saudara saya atau delapan orang sepupu."
Inilah konsep seleksi kekeluargaan, yang diformulasikan pada 1963 oleh biolog berpengaruh, W.D. Hamilton.
Menurut Hamilton, perilaku mementingkan individu tupai lain dapat dijelaskan dengan gampang jika konteksnya juga tepat. Seekor hewan mungkin rela mengorbankan hidup dan kemampuannya untuk bereproduksi, tetapi itu untuk meningkatkan peluang bagi saudara-saudaranya untuk bertahan hidup dan beranak-pinak.
Saudara berbagi banyak gen yang sama dengan kita, sehingga bisa dianggap sebagai alternatif kesuksesan kita dalam alur evolusi, meskipun kita berujung mati. Semakin dekat hubungan darah dengan pihak yang diutamakan, semakin baik. Tupai tadi adalah contoh dari seleksi kekeluargaan.
Paul Sherman, peneliti dari Universitas Cornell, menghabiskan tiga tahun pada 1970-an untuk mengamati tupai, khususnya terkait hubungan kekeluargaan mereka. Kesimpulannya adalah suara peringatan si tupai jika ada predator, dikeluarkan jika ada saudara dekat mereka di sekitar predator.
Hamilton juga mengungkapkan bahwa seleksi kekeluargaan adalah bentuk pengorbanan diri paling ekstrem di alam, atau yang juga dikenal sebagai eusosialitas.
Bentuk pengorbanan ini bahkan dapat berupa pengorbanan untuk tidak dapat bereproduksi, seperti pada koloni semut, yang mana ratu-lah yang bereproduksi. Fakta bahwa semut dalam satu koloni adalah saudara, menjelaskan mengapa seekor semut 'rela' mengorbankan kemampuan reproduksi dan bahkan hidupnya untuk kepentingan koloni.
Argumen pun terus bermunculan, terkait apakah eusosialitas hanya muncul karena seleksi kekeluargaan saja, atau tidak.
Namun, apapun kesimpulannya, ide bahwa sikap mementingkan individu lain terjadi karena ada ikatan genetika, telah menjadi pengetahuan penting dalam ilmu evolusi.
Meskipun begitu, ternyata ada bentuk lain dari kebaikan yang menarik.
Pada 1984, Gerald Wilkinson dari Universitas Maryland, Amerika Serikat, memaparkan tentang aktivitas saling berbagi makanan pada kelelawar vampir. Hewan ini saling berbagi darah dari mulut ke mulut. Ini hal yang penting bagi mereka karena kelelawar vampir tidak bisa hidup jika tidak makan lebih 36 jam. Jadi, berbagi makanan bisa menyelamatkan kelelawar yang kelaparan.
Baca lanjutannya: Apa Satu Hal yang Membedakan Manusia dengan Hewan? (Bagian 2)