
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
1951
Bioskop Metropole resmi beroperasi. Pemutaran film Annie Get Your Gun menandai mulai beroperasinya Metropole di kawasan Menteng, Jakarta. Rahmi Rachim Hatta (istri Wakil Presiden Mohammad Hatta), Haji Agus Salim, dan Sultan Hamengkubuwono IX, meresmikan bioskop berkapasitas 1.500 tempat duduk tersebut.
Bioskop Metropole bergaya art deco, dan dirancang oleh Liauw Goan Seng. Dalam perjalanannya, Metropole bolak-balik ganti nama. Warga Jakarta sempat mengenalnya dengan sebutan bioskop Megaria.
1955
Festival Film Indonesia (FFI) pertama diadakan, pada 30 Maret–5 April 1955. Lewat Djam Malam, film karya sutradara Usmar Ismail, tampil sebagai film terbaik.
FFI berlangsung di Metropole dan Cathay. Di bioskop itu pula, pada 10 April 1955, lahir PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia).
1960-an
Gara-gara politik, sempat terjadi pemboikotan film-film Amerika. Beberapa gedung bioskop sempat dibakar. Film dari Rusia, India, Melayu, dan Filipina, mulai banyak beredar. Jika pada 1960 jumlah bioskop di Indonesia sudah mencapai 890, pada tahun menjelang peristiwa G30S/PKI tinggal 350 saja.
Pada awal Orde Baru 1966, film Amerika kembali bisa ditonton masyarakat umum.
1970-an
PPBSI dan beberapa organisasi sejenis bersepakat melebur menjadi GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) pada Desember 1970. Di sisi lain, akibat dibukanya kesempatan untuk mengimpor film, jumlah bioskop pada 1969-1970 di Indonesia tercatat 653 bioskop. Jumlah itu meningkat pada 1973, menjadi 1.081.
1987
Mulai diperkenalkan bioskop sinepleks yang dikenal sebagai “21” yang dikelola oleh perusahaan Subentra, milik pengusaha Sudwikatmono. Kartika Chandra Theater di Jalan Jenderal Gatot Subroto adalah salah satu yang pertama memperkenalkan konsep satu gedung empat ruang bioskop. Penjaga loket dan pintu bioskop terdiri dari para wanita dengan baju batik dan rok panjang.
Jumlah sinepleks makin banyak, hingga ke kota lain. Sinepleks dibangun di pusat perbelanjaan, kompleks pertokoan, atau di dalam mal yang menjadi tempat nongkrong anak muda.
1990-an
Konsep sinepleks membuat jumlah ruang pemutaran bioskop bertambah. Tahun itu ada 3.048 layar. Dengan fasilitas yang nyaman, orang lebih tertarik nonton di sinepleks. Bioskop non-21 mulai berguguran, kalah bersaing. Sementara film nasional yang biasanya melayani kalangan itu seperti tidak punya tempat.
Jumlah produksi film nasional pun merosot. Di sisi lain, bioskop di Indonesia hampir seluruhnya dikuasai oleh jaringan sinepleks 21.
2000-an
Kelompok sinepleks 21 meluncurkan bioskop dengan konsep satu kelas di atas 21 biasa; XXI dan The Premiere.
Pada 2007, Blitzmegaplex hadir pertama kali di Paris Van Java, Bandung. Selanjutnya di Grand Indonesia Jakarta. Konsepnya sama, multi-layar, namun dengan teknologi audio dan visual yang lebih canggih. Juga pelayanan yang lebih memudahkan, serta menyatu dengan sarana lain di sekitar bioskop, seperti restoran.
2011
Pada 18 Februari, muncul berita bahwa film impor tidak akan beredar lagi di bioskop Indonesia. Media massa melansir berita; Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) tidak akan mengimpor film-film dari luar Indonesia. Begitu juga dengan Motion Picture Association of America (MPAA) menolak mendistribusikan film-film produksi Hollywood.
Aksi itu dilakukan sebagai protes atas kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. Bea masuk dianggap tidak lazim dalam praktik bisnis film di seluruh dunia.
Namun, setelah sekitar tiga bulan bioskop hanya diisi film lokal dan sepi peminat, ada harapan publik film Indonesia bisa kembali menonton film Hollywood.
Pada 18 Mei, Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Agung Kuswandono, mengumumkan di Kantor Kementerian Keuangan, bahwa importir film boleh mengimpor film kembali setelah mengikuti aturan yang ditetapkan.