Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 1)


Bioskop sudah menjadi bagian kehidupan banyak orang di Indonesia, karena tempat menonton film itu saat ini telah tersebar di mana-mana. Dari kota-kota besar sampai kota-kota kecil, hampir bisa dipastikan ada gedung bioskop. Karenanya, orang-orang dari berbagai wilayah pun bisa menikmati film dengan mudah.

Sejarah bioskop di Indonesia ternyata telah dimulai lebih dari satu abad yang lalu, jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Dari semula sangat sederhana—disebut “gambar idoep”—bioskop kemudian terus tumbuh dan berkembang hingga seperti yang sekarang kita kenal. Berikut ini kronologi sejarah dan asal usul bioskop di Indonesia.

1900

Munculnya bioskop di Indonesia bisa dibilang tak terpaut jauh dengan bioskop permanen di Vitascope Hall, Buffalo, New York. Kalau bioskop permanen di Amerika pertama lahir pada Oktober 1896, di Indonesia pada 5 Desember 1900, yaitu saat film mulai masuk ke Hindia Belanda. 

Pada masa itu, film belum diputar di bioskop, tetapi di rumah seorang Belanda di Kebon Jahe. Penyelenggara pertunjukan itu adalah De Nederlandsch Bioscope Maatschappij. Harga tiket kelas I sebesar 2 gulden; kelas II sebesar 1 gulden, dan kelas III sebesar 50 sen. Tempat itu diubah menjadi The Roijal Bioscope pada 28 maret 1903.

1901

Pertunjukan “gambar idoep” alias film mulai diperlihatkan kepada khalayak lebih luas, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, dan Lapangan Stasiun Kota. Semua lokasi ada di Batavia. 

Konsep “bioskop” pada saat itu sangat sederhana, hanya ditutupi dinding bilik tanpa atap. Mungkin seperti layar tancap zaman sekarang.

1903

Beberapa gedung bioskop permanen berdiri di Batavia. Hadir bioskop bernama Elite, Deca Park, Capitol, Rialto (satu di kawasan Senen, dan satu lagi di Tanah Abang). 

Rata-rata bangunan di berbagai kota di Indonesia pada masa itu dilandaskan pada konsep art noveau (seni baru), yang juga kerap disebut seni dekoratif atau art deco. Itu aliran seni yang berkembang pada 1890-1905 di Eropa, yang melingkupi berbagai bentuk seni murni dan seni terapan, termasuk karya arsitektur untuk bioskop.

1926

Pada 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927, Loetoeng Kasaroeng, film lokal pertama, diputar di berbagai bioskop di Bandung, antara lain di Elita dan Oriental Bioscoop.  

Film yang diproduksi NV Java Film Company itu juga diputar di Bioskop Majestic,  di kawasan elit Jalan Braga, Bandung. Bentuk bangunan Majestic digarap arsitek ternama, Ir. Wolff Schoemaker. Majestic selesai dibangun pada 1925.

1934

Pada 13 September, dibentuk Persatuan Bioskop Hindia Belanda (Nederlandsch Indiesche Bioscoopbond) di Jakarta.

1936

Menurut Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), HM Johan Tjasmadi, terdapat 225 bioskop yang ada di Hindia Belanda. Bioskop tersebut antara lain hadir di Bandung (9 bioskop), Jakarta (13 bioskop), Surabaya (14 bioskop), dan Yogyakarta (6 bioskop).

1942-1945

Sebelum Jepang masuk, ada sekitar 300 gedung bioskop di Indonesia. Jumlah itu berkurang dan tinggal 52 gedung yang tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. 

Yang pertama tersingkir adalah bioskop menengah-bawah. Banyak gedung bioskop beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan bahan pokok. Film pada masa itu dianggap tidak menarik, karena melulu berisi propaganda Jepang. Harga tiketnya pun terbilang mahal.

1945

Pasca kemerdekaan, muncul tiga lembaga perfilman: Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).

Baca lanjutannya: Sejarah Perkembangan Bioskop di Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 2)