Menguak Sejarah Pelawak yang Ternyata Sangat Mengejutkan (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Menguak Sejarah Pelawak yang Ternyata Sangat Mengejutkan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Ini adalah tali ketat yang dijalani pelawak: anarki di dalamnya cukup untuk mengundang tawa, sebuah ancaman yang berubah menjadi bahan ejekan. Jika keseimbangan bergerak ke arah yang salah, hal ini akan menjadi menakutkan. Profesor filsafat David Livingstone Smith yakin bahwa ketidakselarasan penampilan dan aksi membuat pelawak menakutkan.

"Pelawak dipandang aneh karena mereka seharusnya menghibur, tetapi banyak orang yang memandangnya mengganggu," katanya, mengacu kepada penelitian berjudul "On the Nature of Creepiness".

Psikolog Francis McAndrew dan Sara Koehnke dari Knox College, Illinois, menanyakan lebih 1.000 orang untuk mengingat tingkat kengerian pekerjaan sebagai bagian dari penelitian yang lebih luas. "Pelawak pemenang golongan kengerian," kata Livingstone Smith.

Kajian tersebut menyimpukan, "menjadi ketakutan" adalah respons perasaan adaptif hasil evolusi terhadap ketidakjelasan terkait kehadiran ancaman": dengan kata lain, seperti ditulis Smith pada situs internet Aeon, "seseorang mengerikan jika kita tidak yakin apakah dia seseorang yang perlu ditakuti".

Ketakutan pelawak

Kengerian ini diperbesar dengan pemikiran "pelawak pembunuh": karakter yang dipakai di jalan-jalan dunia. Sebagian memandang hal ini dimulai dengan penangkapan pembunuh berantai John Wayne Gacy di tahun 1978. Gacy memakai kostum 'Pogo the Clown' di pesta anak-anak dan membuat serangkaian lukisan pelawak saat menunggu hukuman mati.

Dia seringkali disebut sebagai inspirasi Pennywise di novel horror, It, karya Stephen King di tahun 1986. Baru-baru ini King mengomentari gejala 'pelawak pembunuh' dengan mengatakan: saatnya meredam histeria pelawak, sebagian besar dari mereka baik, membuat bahagia anak-anak, membuat orang tertawa".

Tetapi ini adalah bagian kebudayaan populer, jauh sebelum Pennywise. Opera Pagliacci (pelawak dalam bahasa Italia), karya Rugerro Leoncavallo di tahun 1892 menampilkan pelawak yang menemukan istrinya selingkuh dan membunuhnya di panggung. Dalam salah satu acara, pelawak mengeluh karena pekerjaannya adalah membuat orang tertawa, meskipun dia sedang menangis, dia kemudian menyanyi, "Se il viso è pallido, è di vergogna": "jika muka saya putih, itu karena malu".

Sastrawan Perancis, Catulle Mendes, mengatakan Leoncavallo mencuri cerita dramanya, La Femme de Tabarin, dari tahun 1887, di mana seorang pelawak juga membunuh istrinya yang berzinah di panggung: saat sekarat, dia mencoreng bibir suaminya dengan darahnya.

Kemungkinan pelawak untuk menciptakan ketakutan diakui umum saat itu. Di tahun 1879, pengarang Perancis, Edmond de Goncourt, menulis, pelawak "bercanda dan melompat bukannya untuk menghibur mata, tetapi berhasil menciptakan keterkejutan terhadap masalah dan perasaan ketakutan dan keheranan menyakitkan dari gerakan tubuh dan otot yang aneh dan tidak sehat dengan visi Bedlam, suatu pertunjukan anatomi kamar mayat." 

Dia menyebut pelawak "hantu malam modern" yang gerakannya adalah suatu "kebodohan dan meniru orang gila".

Kegilaan bisa dipandang bagian dari daya tarik Grimaldi. Dididik menjadi pelawak oleh ayahnya yang suka melecehkan, dia menyembunyikan diri ke masa anak-anak lewat tokoh Joey. Tetapi menurut Stott, ini "tidak bisa dipandang sebagai kembali ke kepolosan, tidak terdapat kenyamanan dalam mengunjungi kembali kehidupannya saat anak-anak yang rumit dan menimbulkan trauma". 

Grimaldi menjadi cacat karena cedera setelah puluhan tahun menjatuhkan diri dan terus mengalami kesakitan. "Saya 'cemberut sepanjang hari'," dia bercanda, "tetapi saya membuat Anda tertawa pada malam hari." 

Cenderung mengalami depresi, sementara anak laki-lakinya meninggal pada usia 30 tahun karena alkohol, Grimaldi kemudian melakukan hal yang sama dan meninggal dalam kemiskinan.

Buat mereka tertawa

Di umur 25 tahun, Charles Dickens diminta menyunting riwayat Grimaldi, tidak lama setelah meninggalnya pelawak besar tersebut di tahun 1837. 

Dickens telah menulis the Pickwick Papers, yang menampilkan tokoh yang dikabarkan berdasarkan anak laki-laki Grimaldi: "mata berair, kontras dengan cat putih tebal di wajah; kepala yang dihias menakutkan, gemetar karena lumpuh, dan tangan kurus panjang, ditaburi kapur putih, semua ini memberikannya penampilan yang mengerikan dan tidak alamiah".

Stott menulis lewat riwayat hidup ini, "tawa dan kesedihan menjadi penyeimbang keberadaan Grimaldi yang keberhasilan kariernya selalu dibayar lewat penderitaan pribadi dan setiap kebahagian diiringi dengan kesedihan". Diyakini pelawak seharusnya tidak berbahaya, ini adalah pandangan baru. "Terdapat ambiguitas tentang mereka," kata Livingstone Smith.

"Jika pelawak mengubah diri mereka, ambigu tersebut akan hilang, maka mereka tidak akan begitu menakutkan." Tetapi mereka tidak lagi bisa dipandang sebagai pelawak.