Mengenal Narsisme, Perilaku Mencintai Diri Secara Berlebihan


Kebanyakan orang suka mengambil foto diri sendiri alias selfie untuk diunggah di media sosial. Tahukah kamu mengapa ada orang terobsesi foto selfie? 

Perilaku obsesi dengan foto diri sendiri untuk diunggah di media sosial untuk dilihat orang lain bisa disebut sebagai narsis. Istilah narsis berasal dari bahasa Inggris, narcissism. Asal kata narsissism dari mitos Romawi Kuno. 

Alkisah, seorang pemuda bernama Narcissus jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri di air. Kemudian ia menjadi gila hingga bunuh diri. 

Menurut Kamus Lexico, narsisme adalah minat berlebihan atau kekaguman pada diri sendiri dan penampilan fisik seseorang. Dikutip dari Science ABC, psikolog mempelajari bahwa narsisme adalah persoalan serius. Narsisme adalah keadaan pikiran yang membuat orang berpikir bahwa keberadaan dirinya lebih berharga daripada orang lain. 

Jenis narsisme 

Narsisme dapat terjadi dalam dua cara, yaitu narsisme muluk atau megah (grandiose narcissism) dan narsisme rapuh atau rentan (vulnerable narcissism). 

Narsisme yang megah memiliki semua ciri klasik terkait dengan narsisme. Antara lain ekstroversi, kebutuhan menjadi pusat perhatian, dan kecenderungan mendominasi setiap hubungan. Seseorang yang menderita narsisme jenis ini lebih cenderung mengejar jalan kekuasaan atau ketenaran, seperti menjadi selebritis atau politisi. 

Ciri utama narsis jenis ini adalah hanya untuk meningkatkan status diri sendiri dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. 

Sebaliknya, narsisme rapuh sangat berbeda. Orang-orang yang termasuk narsis jenis ini adalah pendiam dan tenang, tetapi memiliki perasaan hak yang sangat kuat. Orang dengan narsisme rentan merasa diremehkan jika ada yang bertentangan dengan sudut pandang atau perspektif yang diyakininya. 

Narsisis rentan kesulitan mempertahankan hubungan sehat, karena berharap terlalu banyak dari orang lain.

Dampak narsisme 

Narsisme memiliki dampak negatif pada kehidupan seseorang. Narsisis muluk cenderung membuat keputusan lebih berisiko dan berbahaya, karena kurang belas kasih pada orang lain. 

Sedangkan orang-orang dengan narsisme rentan biasanya tidak setia dalam suatu hubungan, karena merasa pantas mendapatkan yang lebih baik. 

Lebih jelasnya, narsisme sehari-hari yang umum berbeda dengan Gangguan Kepribadian Narsistik (Narcissistic Personality Disorder). Gangguan Kepribadian Narsistik terbukti merugikan si penderita sendiri, serta orang-orang di sekitarnya. Faktanya, hanya 1-2 persen orang dari seluruh populasi di dunia yang mengalami kelainan tersebut, tidak hanya wanita tetapi juga pria. 

Dalam The American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical Manual dijabarkan ciri-ciri Gangguan Kepribadian Narsistik, yaitu: 
  • Merasa menganggap diri sendiri sangat tinggi. 
  • Merasa jauh lebih penting daripada orang lain. 
  • Menganggap dirinya sebagai individu yang paling cerdas dan paling menarik di situasi apa pun. 
  • Tidak memiliki empati untuk orang lain, karena tidak mengakui orang lain layak. 
  • Menganggap semua orang berada di bawah levelnya, dan hanya mencari individu dengan status tinggi lainnya. 
  • Tenggelam dalam fantasi akan kekuatan tak terbatas, keindahan atau cinta yang ideal. 
  • Menginginkan kekaguman yang berlebihan dari semua orang di sekitarnya. 
  • Perasaan hak sangat kuat sehingga otomatis mengasumsikan setiap harapannya akan terpenuhi. 
  • Sering iri pada orang lain, bahkan percaya orang lain sama-sama merasa iri pada dirinya. 

Penyebab perilaku narsis 

Perilaku narsis seseorang disebabkan berbagai faktor, antara lain gen atau turunan, pengasuhan, dan budaya. Budaya yang mendorong individualitas daripada dinamika kelompok, cenderung menghasilkan individu narsis. 

Jika orang tua mengembangkan pola pengasuhan memanjakan, anak cenderung bersifat narsis muluk. Bila anak mendapat perlakuan dingin dan tidak emosional dari orang tua, akan menjadi narsisme rentan. 

Studi psikologis mengeksplorasi hubungan antara peningkatan di media sosial dan peningkatan kasus narsisme. Meski ada koneksi yang jelas, tetapi media sosial belum terbukti menciptakan narsisme sejak awal. 

Lebih tepatnya, platform media sosial membuka peluang narsisme ke tahap yang harus dilakukan seseorang, mengingat sebelumnya orang tidak bisa melakukan hal semacam itu.