
Kebanyakan orang ingin terkenal. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Ketenaran juga selalu dicari orang biasa. Akhirnya, berbagai hal aneh dilakukan karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan, yaitu tenar.
Sungguh hal ini sangat berbeda dengan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka, dan menasehati agar kita tidak usah mencari ketenaran.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidak jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)
Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)
Daud Ath Tho’i mengatakan, “Menjauhlah dari manusia, sebagaimana kau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal salih.
Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba, kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Semoga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar).” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh kurang bertakwa pada Allah.”
Suatu saat, Basyr juga mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)
Ibrahim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah, orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 286)
Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin tenar. Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarak. Suatu saat Ibnul Mubarak pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak menggunakannya untuk minum.
Tatkala itu orang-orang tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengannya, dan saling mendorong untuk mendapatkan air.
Saat selesai dari mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok mengatakan pada Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar, dan tidak menganggapnya masalah.
Catatan penting yang perlu diperhatikan:
Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
Para penuntut ilmu dan orang shalih bisa jadi juga tidak terlepas dari penyakit ini. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Hal yang paling terakhir luntur dari hatinya orang-orang shalih: cinta kekuasaan dan cinta popularitas.”
Mari lihat contoh seorang tabi’in terbaik, yaitu Uwais Al-Qarni yang Umar bin Khattab meminta agar Uwais mendoakan Umar. Uwais Al-Qarni memilih untuk tidak terkenal, dan dikenal manusia. Perhatikan kisah berikut.
Setiap khafilah dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Adakah di antara kalian Uwais bin ‘Amir?” Lalu suatu saat Umar mendatangi Uwais dan minta agar Uwais memintakan ampun untuknya, karena Uwais adalah seorang tabiin yang sangat berbakti kepada ibunya, dan Rasulullah mengabarkan bahwa jika Uwais berdoa, doanya pasti dikabulkan. Maka Uwais pun melakukan apa yang diminta Umar.
Kemudian Umar bertanya kepada Uwais: “Anda mau pergi kemana?”
Uwais menjawab: “Kufah”
Umar bertanya: “Perlukah saya tulis sebuah memo kepada pegawai saya di Kufah, agar dia memenuhi kebutuhanmu?”
Uwais menjawab: “Aku lebih senang menjadi orang yang tidak dikenal.”