
Kita tentu tahu sistem kerja paksa yang dilakukan di era Daendels dalam pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan.
Yang kita tahu dan sering diajarkan oleh guru sejarah di sekolah adalah bahwa Daendels melakukan semua itu dengan paksa, tanpa mengupah para buruh pribumi yang bekerja untuknya. Akibatnya, ribuan warga pribumi meninggal dalam peristiwa tersebut.
Belakangan ramai perbincangan masalah kebenaran dari peristiwa kelam tersebut. Pasalnya, ada pihak yang mengatakan bahwa Belanda sebenarnya memberikan anggaran kepada bupati dan petinggi pribumi untuk diberikan kepada para buruh. Namun, upah dari bupati ke buruh tak pernah diketahui.
“Sistem pembayarannya, pemerintah memberikan dana kepada para prefek (jabatan setingkat residen) lalu diberikan kepada para bupati. Ini buktinya ada. Sedangkan dari bupati kepada pekerja tidak ada buktinya. Bisa jadi ada tapi belum saya temukan,” kata Djoko Marihandono, pakar sejarah dari Universitas Indonesia.
Menurut informasi yang beredar di internet, pihak Belanda memberikan upah kepada para pekerja sebanyak 30 ribu Ringgit lebih. Namun, jumlah uang tersebut masih simpang siur.
"Pekerja itu dibayar (tentunya tidak banyak). Berapa persen yang dikorupsi, saya tidak tahu. Yang ingin saya garisbawahi di sini bahwa citra buruk yang ditulis dalam sejarah Indonesia itu tidak benar. Bahwa ada jatuh korban dalam proyek raksasa itu juga betul," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh sejarawan bernama Peter Carey.
"Setahu saya memang ada anggaran yang tersedia dari pemerintah kolonial, tapi yang bertanggung jawab adalah bupati dan petinggi pribumi lokal setempat untuk mengurus," kata Peter Carey.