Mengapa ‘Cantik’ di Indonesia Identik dengan Kulit Putih dan Tubuh Ramping?


Sebagai manusia yang berbudaya, eksistensi kita tidak terlepas dengan standar-standar yang ada, seperti “kamu harus begini, dia harus begitu”. Standar kecantikan merupakan salah satunya. Dewasa ini, kita sering kali terpaku pada pemikiran bahwa sesuatu yang indah dan cantik adalah sesuatu yang memiliki apa yang benar-benar kita sukai dan kita inginkan. 

Di Indonesia, misalnya, seseorang akan dianggap indah atau cantik ketika ia memiliki kulit yang cerah, tubuh yang ramping, dan kaki yang jenjang. Hal ini yang kemudian menjadi standar kecantikan di Indonesia.

Meski demikian, standar kecantikan yang dimiliki orang Indonesia tidak muncul begitu saja. Standar kecantikan yang ditetapkan ini berasal dari pengalaman orang Indonesia yang telah dijajah selama ratusan tahun oleh koloni Belanda, dan hidup berdampingan dengan koloni Belanda pada masa-masa tersebut membuat Indonesia hanya melihat Belanda sebagai standar penghidupan yang lebih baik. Koloni Belanda meninggalkan begitu banyak kesan pada orang Indonesia.

Salah satu kesan yang ditinggalkan oleh koloni Belanda ialah kesan terkait kecantikan yang kemudian melekat pada persepsi orang Indonesia, seperti kulit yang putih cerah dan tubuh yang ramping. 

Namun demikian, hal ini tentu sulit untuk didapatkan orang Indonesia, karena pada dasarnya orang Indonesia tidak memiliki ras yang sama dengan orang-orang Belanda pada saat itu. Tetapi, hingga sekarang, hal ini tetap jadi suatu standar untuk mendefinisikan keindahan dan kecantikan di kalangan masyarakat Indonesia.

Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara lain juga memiliki standar kecantikan masing-masing. Seperti di Australia, misalnya. Masyarakat Australia menyukai tampilan wajah yang segar dan bercahaya. Karenanya, masyarakat Australia suka berjemur untuk mendapatkan tampilan yang diinginkan. 

Kemudian, beralih ke Prancis, warga Prancis menyukai tampilan yang bold namun terkesan natural. Sehingga, ketika menggunakan riasan, warga Prancis lebih suka menggunakan riasan tipis dengan bibir yang merah, untuk memberikan kesan lebih tegas.

Jika dibahas satu per satu, kita akan mengetahui bahwa tiap-tiap negara memiliki standar kecantikan yang berbeda-beda, dan standar kecantikan inilah yang membuat seseorang mau melakukan apa saja untuk mencapai gagasan atau konsepsi terkait kecantikan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa standar kecantikan merupakan apa-apa yang disukai dan diinginkan untuk dimiliki seseorang di dalam atau bahkan di luar diri mereka sendiri. 

Lebih lanjut, standar kecantikan juga merupakan gagasan yang telah dibangun dalam lingkup sosial, yang kemudian menjadi sesuatu yang terus dipertahankan dan diupayakan. Tidak hanya oleh perempuan, tetapi oleh siapapun yang percaya dengan gagasan atau konsepsi terkait kecantikan yang ada.

Lalu, apa yang kemudian mendasari eksistensi dari standar kecantikan? Jika ditelaah menggunakan filsafat empirisme Hume, standar kecantikan merupakan hasil dari pengamatan persepsi pengindraan yang selama ini diamati oleh kita sebagai manusia. 

Benar bahwa standar kecantikan merupakan perwujudan dari apa-apa yang kita sukai dan kita inginkan. Kendati demikian, standar kecantikan juga merupakan gagasan yang turun dari kesan yang kita dapati dari pengalaman yang kita miliki.

Seperti pada contoh warga Indonesia yang dijajah selama ratusan tahun, misalnya. Dari penjajahan yang dilalui selama ratusan tahun, warga Indonesia mendapatkan pengalaman-pengalaman yang kemudian melahirkan kesan-kesan seperti, “Wah, perempuan Belanda cantik-cantik, ya! Kulit mereka putih, tubuh mereka ramping, dan mata mereka indah.” 

Dari kesan yang didapati inilah kemudian turun sebuah gagasan terkait seperti apa kecantikan sebenarnya.

Eksistensi dari standar kecantikan ini lahir dari kesan-kesan yang dimiliki orang terhadap suatu hal, dan perolehan kesan yang kemudian menjadi gagasan tidak hanya berlaku pada standar kecantikan semata. Sebagai manusia, semakin banyak pengalaman yang kita miliki, semakin banyak pula kesan yang kita dapati, yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan dan konsepsi baru.