Bagaimana Menghadapi Persaingan dengan Mesin-mesin yang Makin Pintar?


Jika komputer sudah melakukan hal-hal yang dulu merupakan pekerjaan yang sangat manusiawi, apa artinya menjadi manusia di masa depan?

Laporan yang dibuat California Department of Motor Vehicles (DMV) dan dibuka untuk publik di situs web DMV, memaparkan upaya Google (atau lebih tepatnya anak perusahaannya, Waymo) yang akan mewujudkan kendaraan tanpa pengemudi.

Tertulis dalam laporan bahwa mobil tanpa pengemudi ciptaan Google telah menempuh jarak 1.023.330 km, dan membutuhkan intervensi manusia 124 kali. Itu berarti satu intervensi pada setiap 8.047 km mobil itu berjalan tanpa pengemudi.

Akan tetapi, yang lebih menakjubkan ialah kemajuan yang mereka capai dalam satu tahun: intervensi manusia berkurang dari 0,8 kali per seribu mil (1609,344 km) menjadi 0,2, yang berarti peningkatan kinerja sebesar 400%.

Dengan kemajuan sepesat itu, mobil Google akan melampaui kemampuan mengemudi rata-rata orang.

Dahulu, mengemudi tampak seperti keterampilan yang sangat manusiawi. Tapi kita juga berpikir begitu tentang catur. Kemudian komputer mengalahkan pecatur juara dunia, berkali-kali.

Permainan strategi Go menggantikan catur sebagai uji litmus untuk daya pikir manusia; hingga ketika komputer mengalahkan seorang pemain Go profesional kelas dunia. Komputer IBM bernama Watson memenangkan kuis Jeopardy - hal lain yang dianggap sebagai domain manusia. Dan sekarang komputer membagi waktunya antara mengenali kanker kulit dengan membuat resep masakan, dan sebagainya.

Jika komputer sudah melakukan hal-hal yang dulu merupakan pekerjaan yang sangat manusiawi - yang membutuhkan pengetahuan, strategi, bahkan kreativitas - maka apakah artinya menjadi manusia di masa depan?

Beberapa orang khawatir bahwa mobil dan truk tanpa pengemudi akan menggantikan jutaan sopir profesional (mereka benar), dan mengubah seluruh industri (ya!). Tapi pernahkah kita khawatir tentang nasib anak-anak di masa depan? 

Akan seperti apa peran mereka di dunia tempat mesin telah mengalahkan manusia di berbagai bidang? Apa yang akan mereka lakukan, dan bagaimana hubungannya dengan mesin-mesin yang semakin pintar ini? Akan seperti apa kontribusi mereka di dunia yang mereka huni?

Dibandingkan komputer, mereka tak akan bisa menghitung atau menyelesaikan persamaan matematika lebih cepat. Mereka tak akan bisa mengetik lebih cepat, mengemudi lebih baik, atau bahkan menerbangkan pesawat dengan lebih aman.

Mereka mungkin tetap bisa bermain catur dengan kawan-kawan, namun karena manusia, mereka tak akan punya kesempatan menjadi pemain catur terbaik di dunia. Mereka mungkin tetap menikmati bicara dengan berbagai bahasa (seperti saat ini), namun dalam kehidupan profesional, keterampilan itu mungkin bukan lagi keunggulan kompetitif, jika kita mempertimbangkan perkembangan mesin alih-bahasa real-time belakangan ini.

Sebenarnya, semuanya kembali pada satu pertanyaan sederhana: Apa yang begitu spesial dalam diri kita, dan apa yang membuat kita tak tergantikan? Pastinya bukan keterampilan seperti aritmatika atau mengetik, yang telah dikuasai dengan baik oleh mesin. Juga bukan rasionalitas, karena, dengan semua bias dan emosi kita, manusia lemah tentang hal itu.

Jadi mungkin kita bisa memikirkan kualitas di ujung lain spektrum: kreativitas radikal, orisinalitas irasional, bahkan sedikit kegilaan tidak logis, sebagai ganti logika yang kaku. Ibarat dalam cerita Star Trek, kita jadi lebih mirip Kirk daripada Spock.

Sejauh ini, mesin kesulitan meniru kualitas ini: lompatan keyakinan yang 'gila,' cukup sewenang-wenang sehingga tidak bisa diprediksi oleh bot, namun lebih dari sekadar tindakan acak. Kesulitan mesin adalah kesempatan kita.

Tentu kita tidak menyarankan agar menyerah untuk menggunakan akal sehat, logika, dan pemikiran kritis. Justru karena kita sangat menghargai nilai rasionalitas dan pengetahuan, kita yakin bisa sedikit merayakan kebalikannya.

Jika kita terus berupaya menyempurnakan mesin pemroses informasi dan membuat mereka beradaptasi dan belajar dari setiap interaksi dengan lingkungan, dari setiap bit data yang dipasok kepada mereka, kita akan memiliki asisten rasional yang dapat membantu kita.

Mereka akan memberdayakan kita untuk mengatasi berbagai keterbatasan kita sebagai manusia, dalam mengubah informasi menjadi keputusan rasional. Dan komputer pun akan semakin baik dan semakin baik lagi untuk hal itu.

Jadi kita harus mengarahkan kontribusi manusia terhadap pembagian pekerjaan ini untuk melengkapi rasionalitas mesin, bukan bersaing dengannya. Karena hal itulah yang akan selalu membedakan kita dari mereka, dan perbedaan inilah yang menciptakan nilai.

Kira harus memelihara jiwa kreatif, sikap spontan, bahkan ide tak rasional. Bukan karena ketidakrasionalan itu merupakan sebentuk kebahagiaan, namun karena sepercik kreativitas tak logis akan melengkapi rasionalitas mesin. Hal ini akan merupakan jaminan bahwa kita selalu punya tempat dalam evolusi.

Akan tetapi, sayangnya, sistem pendidikan kita belum siap berhadapan dengan Zaman Mesin Kedua yang akan datang ini. Seperti petani yang berkutat di pola pikir pra-industri, sekolah dan universitas kita terstruktur untuk membentuk siswa yang menjadi budak patuh rasionalitas, dan mengembangkan keterampilan yang usang dalam berinteraksi dengan mesin yang usang pula.

Jika kita memperlakukan tantangan yang datang dari mesin itu dengan sungguh-sungguh, kita perlu mengubahnya, dan dengan cepat. Tentu saja kita perlu terus mengajarkan pentingnya rasionalitas berdasarkan fakta, dan bagaimana fakta yang lebih akurat menuntun pada keputusan yang lebih baik.

Kita perlu membantu anak-anak kita belajar bagaimana cara terbaik bekerja dengan komputer-komputer pintar, untuk menyempurnakan proses pengambilan keputusan manusia.

Namun hal paling penting ialah kita harus mempertahankan perspektif jangka panjang di benak kita: bahwa meskipun komputer akan lebih pintar dari kita, kita tetap bisa menjadi yang paling kreatif, jika kita menganggap kreativitas sebagai salah satu sifat yang mendefinisikan sifat manusia. Misalnya ide-ide tak rasional yang lucu, atau luapan emosi.

Karena jika tidak, kita tak akan cukup bernilai dalam ekosistem masa depan, dan itu membuat dasar eksistensi kita menjadi pertanyaan.