Oei Tiong Ham, Konglomerat Pertama di Asia Tenggara di Abad 20


Oei Tiong Ham disebut sebagai salah satu orang terkaya di Asia, dan konglomerat pertama di Asia Tenggara, pada awal abad ke-20. Latar belakang keluarga Ham sebenarnya tidak terlalu elite pada masanya. Bahkan ayahnya, Oei Tjie Sien, merupakan seorang Tionghoa-totok yang sukses berkat kerja kerasnya sendiri tanpa, berhubungan darah sama sekali dengan kelompok kelas atas Tionghoa-peranakan di Hindia-Belanda.

Praktik bisnis perusahaan Ham tidak seperti orang Tionghoa pada umumnya. Saat itu dia sudah mengenal sistem kontrak bisnis yang membuatnya mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan atas perputaran uang dalam perusahaannya. 

Berkat praktik yang tidak umum ini, Ham terbukti berhasil mengakusisi sekitar lima pabrik gula yang pemilik sebelumnya tidak mampu membayar utang akibat krisis gula yang terjadi pada akhir abad ke-19.

Setelah akusisi tersebut, industri gula menjadi salah satu fondasi kuat gurita bisnisnya, dan Ham kemudian melakukan ekspansi ke bidang lain macam perkebunan, jalur perkeretaapian, jalur perkapalan, sampai perbankan. 

Handel Maatschappij Kian Gwan kemudian berevolusi menjadi perusahaan multinasional, bahkan pada masanya sudah tidak lagi bersaing dengan perusahaan yang dimiliki oleh sesama orang Tionghoa, melainkan sudah sampai ke titik bersaing dengan perusahaan-perusahaan Eropa.

Kesuksesan perusahaannya juga tidak luput dari profesionalitas yang diterapkan, sekali lagi tidak umum seperti orang Tionghoa kebanyakan, karena Ham mempraktikkan kebijakan semacam perekrutan eksekutif perusahaan yang dilandasi profesionalisme dibandingkan hubungan darah. 

Banyak orang keturunan Belanda menjadi bagian dari perusahaannya, dan perusahaannya juga dikatakan telah menerapkan sistem akuntansi modern.

Ada fakta unik di balik perusahaan Ham. Salah satu anak perusahaannya di Singapura ternyata pernah mempekerjakan Lee Hoon Leong, kakek pendiri negara Singapura, Lee Kuan Yew. Karena adanya kebijakan pajak tinggi di Hindia-Belanda, Ham kemudian merelokasi tempat tinggalnya dari Semarang menuju Singapura, dan menetap di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 1924.

Ham, selain disebut sebagai salah satu orang terkaya, juga pernah dijuluki sebagai Man of 200 Million Gulden, yang bukan lain didapatkan berkat jumlah kekayaannya yang mencapai total 200 juta gulden pada saat itu, dan namanya juga diresmikan sebagai salah satu nama jalan di Singapura. 

Salah satu cabang perusahaannya di Indonesia, pada akhirnya dinasionalisasi oleh pemerintah pada tahun 1964, dan diubah namanya jadi PT Rajawali Nusantara Indonesia.