Pieter Erberveld adalah seorang berdarah Eurasia yang tinggal di suatu kawasan elit di Batavia, atau biasa dikenal dengan Jacatraweg (sekarang jadi Jalan Pangeran Jayakarta).
Ayahnya merupakan seorang pengusaha kulit kaya-raya yang kemudian ikut serta dalam VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang kemudian mewariskan banyak harta kepada Pieter, termasuk tanah-tanah miliknya yang berada di Hindia Belanda. Namun sayang, VOC menyita seluruh tanahnya karena Pieter tidak memiliki akta yang disahkan oleh VOC.
Pieter adalah seorang kulit putih yang dekat dengan bangsa pribumi, bahkan ia memiliki kedekatan terhadap salah seorang ningrat yang berasal dari Jawa Tengah, bernama Raden Kartadriya. Ia bersama Kartadriya menjalin hubungan dengan banyak orang pribumi yang bekerja di VOC, dan bersama-sama mulai mengumpulkan persenjataan.
Hingga pada tahun 1721, Pieter dan Kartadriya menyusun rencana pemberontakan kepada VOC. Ia bersama Kartadriya menyelenggarakan beberapa pertemuan guna menyusun rencana penyerangan mereka di Batavia.
Ia dan Kartadriya berencana melakukan penyerangan pada pergantian malam tahun, atau lebih tepatnya tanggal 1 Januari 1722. Namun rencana tersebut gagal karena salah seorang budak Pieter berkhianat, dan membocorkan rencana Pieter dan Kartadriya kepada pemerintah Belanda.
Pieter dan Kartadriya pun dijebloskan ke penjara pada tanggal 23 Januari 1722. Di sana Pieter menghabiskan waktunya dengan berbagai penyiksaan, sebelum akhirnya Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Penyelenggara Negara) memutuskan untuk mengeksekusi mati Pieter bersama rekan-rekan lainnya.
Ia dieksekusi mati pada 22 April 1722 di luar tembok Batavia sebelah selatan.
Eksekusi mati Pieter berjalan dengan sangat mengerikan. Sebelum Pieter menjalankan eksekusinya, ia terlebih dahulu disiksa secara keji oleh Belanda. Kemudian masing-masing tangan dan kaki pieter diikatkan pada empat kuda yang berbeda, lalu keempat kuda tersebut berlari ke arah yang berlawanan, hingga anggota tubuh Pieter terbelah menjadi empat bagian.
Setelah itu kepala Pieter dipenggal dan ditancapkan ke sebuah tongkat. Kepala Pieter pun dijadikan tugu monumen oleh pemerintah Belanda sebagai peringatan bagi siapapun yang ingin berkhianat.
Dan dalam monumen tersebut terdapat sebuah tulisan yang berupa peringatan, dan ditulis dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa:
“Sebagai kenangan dari pengkhianat Pieter Erberveld, tidak seorang pun kini boleh membangun, membuat, meletakkan, bata atau menanam di tempat ini. Batavia 14 April 1722”. (Prasasti batu Monumen Erberveld)
Monumen asli Pieter Erberveld telah dihancurkan saat masa penjajahan Jepang berlangsung. Tugu tersebut dihancurkan, tetapi prasastinya berhasil diselamatkan. Sebagian batunya dipindahkan ke area di belakang halaman Museum Sejarah Jakarta.
Kemudian sebuah monumen replika dibangun di tempat yang sama pada tahun 1970, namun tidak bertahan lama karena monumen tersebut digantikan oleh sebuah Showroom mobil Toyota pada tahun 1985. Monumen replika tersebut lalu dipindahkan ke Museum Prasasti, Jakarta Pusat.
Tempat eksekusi mati Pieter dilaksanakan, sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Pecah Kulit, karena konon kabarnya kulit yang berada pada tubuh Pieter terpecah saat eksekusi sedang berlangsung.