
Ada pepatah kuno bahasa Mandarin yang artinya adalah “membakar buku dan menguburkan golongan terpelajar hidup-hidup”. Latar belakang munculnya pepatah ini terjadi saat Qin Shihuang berhasil menyatukan Tiongkok setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya, dalam era The Warring States (476 - 221 SM).
Selanjutnya, setelah menabalkan diri sebagai Kaisar pertama, dia lantas memerintahkan pembangunan besar-besaran Tembok Raksasa yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, untuk makin menancapkan kekuasaannya, Kaisar Qin, atas usul Perdana Menteri Li Si, memerintahkan pembakaran buku-buku dan pembunuhan kaum terpelajar, yang umumnya merupakan penganut Confucius.
Lalu mengapa buku The Art of War karya Sun Tzu tidak ikut dimusnahkan?
Mungkin karena Qin Shihuang sendiri merasa keberhasilannya menyatukan Tiongkok tidak lepas dari peran militer, yang tentu saja banyak menerapkan teori dalam buku tersebut dalam peperangan. Bagaimana mungkin dia mau memusnahkan ilmu yang selama ini menghantarkan dirinya ke tampuk kekuasaan tertinggi di seluruh Tiongkok?
The Art of War karya Sun Tzu aslinya dituliskan pada bilah bambu.
Sejarah mencatat pula, Kaisar Qin berkuasa relatif singkat bukan karena diserang oleh musuhnya, namun karena termakan sendiri oleh obsesinya untuk hidup abadi dengan memimum ramuan yang disebut chángsheng bùlao, yang ternyata mengandung bahan merkuri yang menggerogoti kesehatannya.