Kisah Masjid Babri, dan Kaum Muslim India yang Terpinggirkan (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Masjid Babri, dan Kaum Muslim India yang Terpinggirkan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Banyak warga Muslim terpinggirkan di perkampungan-perkampungan kumuh di kota-kota yang padat. 

Jumlah mereka yang masuk ke angkatan kepolisian federal hanya kurang dari 3% pada 2016, sedangkan jumlah warga Muslim mencapai lebih dari 14% dari total populasi. Hanya 8% warga Muslim di perkotaan mempunyai pekerjaan dengan gaji tetap, kurang dari dua kali rata-rata nasional, menurut satu laporan.

Pendaftaran masuk sekolah dasar tercatat tinggi, tetapi angka putus sekolah di tingkat sekolah menengah atas juga tinggi, faktor terbesarnya adalah ketidakmampuan ekonomi.

Perwakilan Muslim di parlemen India menurun terus menerus - sekarang di bawah 5% untuk majelas rendah yang dipilih, berkurang dari angka 9% pada tahun 1980. Ketika BJP berkuasa pada tahun 2014, itulah kali pertama partai menang tanpa seorang pun anggota parlemen Muslim.

Modi dan kolega-koleganya secara konsisten mengatakan mereka tidak membeda-bedakan agama.

Perdana menteri mengatakan ia mendapat dukungan dari banyak negara Islam dan tunjangan kesejahteraan skala luas yang digulirkannya menyentuh setiap warga yang miskin di India, tanpa memandang agama atau kasta.

Selama bertahun-tahun, BJP menyebut partai-partai oposisi liberal "mengklaim sekuler tetapi sebenarnya tidak".

Sebagian pihak yakin tuduhan ini ada benarnya. Sebagai contoh, mereka menyebut komunis yang berkuasa di Negara Bagian Bengali Barat, India timur, selama lebih dari tiga dekade dan terus terang sekuler, menjamin perlindungan dan keamanan warga Muslim, yang berjumlah 25% dari total penduduk negara bagian itu.

Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan Muslim di Gujarat, negara bagian yang mengalami ketegangan berlatar belakang agama dan politik sektarian, mencatat keberhasilan ekonomi dan indeks pembangunan manusia lebih baik dibanding warga di Bengali.

"Pasar di India ini nonagama. Jadi negara-negara bagian seperti Gujarat di mana bisnis berkembang, warga Hindu dan warga Muslim sama-sama berhasil," kata Mirza Asmer Beg, profesor hubungan internasional di Aligarh Muslim University di Uttar Pradesh.

Tetapi beberapa analis mengatakan perebutan suara atas landasan agama yang dipraktikkan oleh BJP telah "mengoranglainkan" Muslim.

"Bagaimana kita memecah belah? Dengan cara menganggap kubu lain sebagai ancaman terhadap identitas kita," kata ahli politik Christophe Jaffrelot.

Ia meyakini India mengarah ke "demokrasi etnik", lahir dari nasionalisasi etnik yang mengindikasikan "rasa memiliki yang kuat dan lebih unggul".

Namun tak semuanya kelam. Muncul kelas menengah muda dan artikulatif yang tidak terbebani oleh hantu penyekat.

Unjuk rasa meluas menentang undang-undang kewarganegaraan menampilkan banyak pria dan perempuan dari kalangan Muslim yang turun ke jalan-jalan dan menghapus stereotip kelompok minoritas yang tertutup dan tidak bersuara.

Pelatihan berbasis komunitas menjamur untuk melatih anak-anak muda menyiapkan diri mengikuti ujian masuk pegawai negeri sipil yang bergengsi di India.

"Banyak pemuda Muslim menunjukkan identitas mereka dengan cara positif dan tidak takut menyuarakan pandangan mereka," tambah Ali.

Tetapi pada akhirnya, vonis bebas terhadap semua terdakwa kasus pembongkaran Masjid Babri, hanya akan memperdalam keresahan dan rasa ketidakadilan warga Muslim India.

"Dalam banyak hal, mereka adalah masyarakat yang ditinggalkan. Ada perasaan tak berdaya. Mereka dieksploitasi oleh pemimpin Muslim sendiri maupun oleh pemimpin Hindu dan oleh partai-partai selama bertahun-tahun," kata Zaheer Ali, seorang saintis politik. "Kemiskinan memperburuk keadaan."