Kisah Masjid Babri, dan Kaum Muslim India yang Terpinggirkan (Bagian 1)


Hampir tiga dekade, 850 saksi mata, lebih dari 7.000 dokumen, foto dan rekaman video, pengadilan di India memutuskan tak seorang pun bersalah dalam aksi pembongkaran Masjid Babri dari abad ke-16 yang diserang oleh massa Hindu di kota suci Ayodhya.

Di antara 32 orang yang didakwa dan masih hidup adalah mantan Wakil Perdana Menteri LK Advani, dan sejumlah politikus senior dari Bharatiya Janata Party (BJP).

Keputusan pengadilan membebaskan seluruh terdakwa dengan alasan pengrusakan masjid pada tahun 1992 merupakan ulah "orang-orang antisosial" yang tak terindentifikasi dan aksi itu tidak direncanakan.

Putusan diambil meskipun berbagai kesaksian menyebutkan bahwa pembongkaran, yang berlangsung hanya beberapa jam, sudah direncanakan sebelumnya dan dilakukan dengan impunitas, dan unit kepolisian setempat berpura-pura tidak tahu ada kejadian di hadapan ribuan penonton.

Mahkamah Agung India mengakui peristiwa itu sebagai "aksi yang sudah diperhitungkan" dan "pelanggaran yang mengerikan terhadap aturan hukum".

Lalu bagaimana menjelaskan vonis bebas itu?

Secara umum vonis ini dianggap sebagai penilaian negatif lagi terhadap sistem peradilan pidana yang kacau. Banyak orang khawatir sistem tersebut sudah rusak tanpa dapat diperbaiki lagi akibat dari campur tangan politik secara terang-terangan selama puluhan tahun, kekurangan dana, dan akibat kapasitas yang lemah.

Terpinggirkan 

Secara khusus, vonis itu semakin memarjinalkan penduduk Muslim India yang berjumlah 200 juta.

Di bawah pemerintahan nasionalis Hindu BJP pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, Muslim di India terpinggirkan dan merasa paling terhina sepanjang sejarah masyarakat plural, sekuler di negara itu, yang dijuluki sebagai demokrasi terbesar di dunia sejak merdeka tahun 1947.

Massa telah menangkap dan membunuh warga Muslim karena mengonsumsi daging sapi atau mengangkut sapi, yang disucikan oleh mayoritas umat Hindu.

Pemerintahan PM Modi mengubah undang-undang untuk mempercepat pemrosesan kewarganegaraan pengungsi non-Muslim dari negara-negara tetangga. Pemerintah juga memecah negara bagian dengan mayoritas penduduk Muslim, Jammu dan Kashmir, dan membatalkan status otonominya yang diamanatkan oleh konstitusi.

Tahun silam, umat Muslim secara khusus dituding menyebarkan virus corona baru setelah anggota Jamaah Tabligh menghadiri acara di Delhi. Acara-acara agama Hindu yang menarik massa lebih banyak selama pandemi tidak mendapat sorotan politik, publik atau media, atau dikambinghitamkan.

Tidak hanya itu. Mahasiswa dan aktivis Muslim ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas dugaan menghasut kerusuhan terkait dengan undang-undang kewarganegaraan yang kontroversial di Delhi akhir, sedangkan penghasut dari kelompok Hindu tak tersentuh sama sekali.

Vonis kasus Masjid Babri, menurut banyak warga Muslim, hanyalah kelanjutan dari penghinaan itu.

Rasa keterasingan itu sungguh nyata. Partai Modi sama sekali tak menyembunyikan soal ideologi mayoritas Hindu. Berbagai saluran berita yang populer menjelekkan Muslim. Banyak di antara partai daerah yang sebelumnya berpengaruh, dan yang sebelumnya membela masyarakat, tampak meninggalkan mereka.

Muslim putus asa

Partai oposisi utama, Kongres, dituduh menggunakan warga Muslim untuk mendulang suara tanpa memberikan sesuatu kepada mereka. Komunitas Muslim sendiri tidak mempunyai banyak sosok untuk menyuarakan aspirasi mereka.

"Muslim pada dasarnya kehilangan kepercayaan pada sistem. Mereka merasa dipinggirkan dan menganggap partai-partai politik, lembaga dan media gagal membantu mereka. Muncul keputusasaan mendalam di masyarakat," kata Asim Ali, peneliti junior di lembaga pemikir Centre for Policy Research, Delhi.

Sebenarnya India sudah lama memarjinalkan penduduk Muslim. Mereka "memikul beban ganda dengan sebutan 'tak nasionalis' dan 'ditenteramkan' pada saat bersamaan", kata satu laporan.

Tetapi ironisnya, walaupun banyak warga India menerima kenyataan bahwa Muslim diperlakukan secara tidak adil, komunitas Muslim sejatinya belum menikmati keuntungan sosial-ekonomi yang berarti, menurut para sejarawan.

Baca lanjutannya: Kisah Masjid Babri, dan Kaum Muslim India yang Terpinggirkan (Bagian 2)