5 Kebudayaan Unik Indonesia yang Terkenal di Dunia

5 Kebudayaan Unik Indonesia yang Terkenal di Dunia

Indonesia adalah negara yang luas, dengan banyak pulau dan berbagai suku. Suku-suku bangsa yang tersebar di mana-mana itu memiliki berbagai tradisi dan kebudayaan unik, yang telah diwarisi turun temurun, dari generasi ke generasi. Belakangan, kebudayaan-kebudayaan itu bahkan menjadi daya tarik wisata di tempat-tempat bersngkutan.

Di antara banyaknya tradisi atau kebudayaan yang ada di Indonesia, berikut ini adalah lima di antaranya.

1. Upacara Tabuik Sumatera Barat

Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti ‘mengarak’, upacara Tabuik merupakan tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Islam.

Konon, Tabuik dibawa dari Timur Tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW. 

Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.

Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat aneka penganan, dan kue-kue khas Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.

Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. 

Oleh umat Islam, binatang itu disebut Buraq, dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya, dan akan di arak nantinya.

2. Makepung, Balap Kerbau Masyarakat Bali

Kalau Madura punya Kerapan Sapi, Bali memiliki Makepung. Dua tradisi yang serupa tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar sekaligus menghibur. 

Makepung adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Tradisi ini awalnya permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh seorang joki.

Makin lama, kegiatan yang semula iseng itu berkembang dan makin diminati banyak kalangan. Kini, Makepung telah menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik dan banyak ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing.

Tak hanya itu, lomba pacu kerbau ini pun telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara profesional. Sekarang, Makepung tidak hanya diikuti oleh kalangan petani. Para pegawai dan pengusaha dari kota pun banyak yang menjadi peserta maupun supporter. 

Apalagi, dalam sebuah pertarungan besar, Gubernur Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun sangat meriah dengan hadirnya para pemusik jegog (gamelan khas Bali yang terbuat dari bambu) untuk menyemarakkan suasana lomba.

3. Atraksi Debus Banten

Konon, kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin lama, seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh di semua kalangan masyarakat Banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat. 

Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus Banten banyak menggunakan dan memfokuskan kekebalan seorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan atraksi ini disebut debus.

Kesenian ini tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun lalu, bersamaan dengan berkembangnya agama Islam di Banten. Pada awalnya kesenian ini mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa penjajahan Belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa, seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat Banten melawan penjajahan Belanda. 

4. Karapan Sapi Masyarakat Madura Jawa Timur

Karapan sapi, yang merupakan perlombaan pacuan sapi, berasal dari Madura, Jawa Timur, Dalam even karapan sapi, para penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya. Sebelum memulai, para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi di sekeliling pacuan, disertai alat musik seronen, perpaduan alat musik khas Madura, sehingga acara ini semakin meriah.

Panjang rute lintasan karapan sapi antara 180 sampai 200 meter, yang dapat ditempuh dalam waktu 14 - 18 detik. Tentu sangat cepat laju sapi-sapi tersebut. Selain kelihaian joki, terkadang bamboo yang digunakan untuk menginjak sang joki melayang di udara karena cepatnya sapi-sapi berlari. 

Jarak pemenang terkadang selisih sangat tipis, bahkan tidak jarang hanya berjarak 1 - 2 detik. Karapan Sapi di Madura merupakan pagelaran yang unik, selain sudah diwarisi secara turun menurun sampai sekarang. Even ini dijadikan bagian pariwisata di Indonesia, dan turis lokal maupun mancanegara banyak yang menyaksikannya.

5. Upacara Kasada Bromo

Upacara Kasada Bromo dilakukan oleh masyarakat Tengger yang bermukim di Gunung Bromo, Jawa Timur. Mereka melakukan ritual ini untuk mengangkat seorang tabib atau dukun di setiap desa. Agar dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantra-mantra. 

Beberapa hari sebelum Upacara Kasada Bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke-14 bulan Kasada, masyarakat Tengger berbondong-bondong membawa ongkek berisi sesaji dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak. 

Lalu mereka membawanya ke Pura, dan sambil menunggu dukun sepuh yang dihormati datang, mereka kembali menghafal dan melafalkan mantra. Tepat tengah malam, diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan.

Bagi masyarakat Tengger, peranan dukun sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara-acara ritual, perkawinan, dll.

Sebelum lulus, mereka diwajibkan menghafal dan lancar dalam membaca mantra- mantra. Setelah upacara selesai, ongkek-ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung Bromo ke atas kawah. Lalu mereka melemparkannya ke dalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Di dalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk Tengger yang tinggal di pedalaman. Mereka jauh-jauh hari datang ke gunung Bromo dan mendirikan tempat tinggal di kawah gunung Bromo, dengan harapan mendapatkan sesaji yang dilempar. 

Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah-buahan dan hasil ternak, menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap Tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah.