Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Anak yang Suka Membaca, Cenderung Tak Suka matematika? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Sejumlah peneliti lain yang juga menggali penyebab rendahnya jumlah perempuan yang bekerja di bidang terkait fisika sepakat bahwa ada penjelasan yang masuk akal atas fenomena ini.
"Saat anak-anak perempuan dan laki-laki memilih mata pelajaran yang mereka ambil, mereka tidak mempertimbangkan seberapa bagus performa mereka di pelajaran matematika atau membaca, tapi apakah mereka bagus di bidang matematika bila dibandingkan dengan membaca. Pelajaran di mana mereka lebih menonjol yang kemudian dipilih," kata Sarah Cattan, Kepala Sektor Pendidikan dan Ketrampilan di Fiscal Studies Institut di London.
Lise Eliot, profesor neuroscience di Rosalind Franklin University of Medicine and Science di Chicago juga setuju. "Teori ini masuk akal, dan sudah banyak penelitian sebelumnya membuktikan, bahwa di tengah lingkungan akademis yang kompetitif, para siswa akan mempertimbangkan kemampuan relatif mereka ketimbang kemampuan di masing-masing bidang."
Peran stereotip pada pilihan karir
Meski begitu, Eliot menambahkan bahwa nilai tes mungkin bukan satu-satunya faktor yang menjadi pertimbangan seorang siswa memilih karir. "Keputusan seperti ini selalu dibuat dalam konteks sosial yang di dalamnya ada kompetisi antar-siswa dan peran gender di lingkungannya."
Orangtua dan guru bisa jadi memperlakukan siswa perempuan dan laki-laki secara berbeda, kerap kali tanpa sadar, karena ada stereotipe yang mengatakan bahwa membaca lebih cocok dengan perempuan dan matematika dengan laki-laki.
Salah satu penelitian menemukan guru-guru sekolah dasar mengharapkan nilai matematika dan sains yang tinggi pada murid pria. Ada pula penelitian yang menemukan bahwa orangtua lebih sering membacakan buku pada anak-anak perempuan.
Apakah ada perbedaan di struktur otak perempuan dan laki-laki yang menyebabkan gender berbeda lebih unggul di bidang-bidang tertentu, ini masih kontroversi.
Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa imbas stereotip dari lingkungan tidak muncul begitu saja pada waktu seorang anak perempuan memilih karier, namun sejak bertahun-tahun sebelumnya.
Dengan mendorong anak perempuan lebih rajin membaca ketimbang berkutat dengan matematika, pada akhirnya akan membuat perempuan lebih berprestasi di bidang membaca. Secara tak langsung, ini berimbas pada pilihan karir mereka di masa mendatang.
Mendorong anak laki-laki gemar membaca
David Geary, seorang psikolog tumbuh kembang di University of Missouri, berkata, ini bisa menguntungkan bagi masyarakat yang lebih luas.
"Jika Anda melihat anak-anak dengan pendidikan rendah, kebanyakan adalah anak laki-laki, dan kebanyakan dari mereka lemah di membaca dan menulis," katanya.
Kegagalan mengatasi permasalahan ini bisa membuat banyak anak laki-laki, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu, menjadi angkatan kerja yang "under-employed atau unemployable".
Lebih lagi, dia melanjutkan, ada tendensi melihat kesenjangan gender di bidang-bidang yang laki-laki merupakan minoritas. "Tidak ada yang bicara soal kesenjangan di bidang kedokteran hewan, misalnya, di mana sekarang 80%-nya adalah perempuan."
Eliot yakin kesenjangan kemampuan dalam membaca bisa dikurangi. Terlebih, kesenjangan kemampuan membaca lebih kecil pada anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang lebih berpendidikan, di mana kegiatan membaca dan menulis biasanya lebih dihargai.
"Artinya, kesenjangan ini bisa ditutup dengan intervensi pendidikan yang benar," katanya.
Diskusi soal pilihan karir juga bisa diperkaya lagi. "Kebanyakan perdebatan soal ini masih dilihat dari cara pandang laki-laki," tukas Breda.
"Kita berkata: 'Kita harus mendorong lebih banyak perempuan belajar sains. Anak-anak perempuan harus bisa menjadi seperti anak-anak laki-laki.' Namun ini bukan cara pandang yang baik, karena sudah mengandung bias."
Memastikan anak perempuan maupun lelaki memiliki dasar yang kuat di pelajaran matematika dan membaca, dan memberikan status sosial yang sama pada kedua ketrampilan itu, sama pentingnya dengan terus berusaha menghapus stereotip yang melingkupi keduanya. Sehingga semua orang berhak memiliki sebanyak mungkin pilihan untuk masa depan mereka sendiri.
"Apakah kita ingin menukar para ahli biologi dengan para programer komputer?" kata Geary. "Mungkin, tapi mungkin juga tidak. Adalah hak setiap individu untuk membuat pilihan tersebut."