
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Busana Perempuan dan Konstruksi Budaya dari Masa ke Masa - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Gaya pakaian flapper membutuhkan badan yang juga ramping dan androgini yang tanpa pinggul sehingga tetap dibutuhkan semacam korset yang mengecilkan pinggul, memang lebih nyaman tapi tetap saja menciptakan bentuk tubuh yang artifisial.
Pameran ini memperlihatkan sepasang piyama bahan crepe warna ungu dan oranye dengan garis pinggang 40-inch (101.6 cm). Ini membuktikan bahwa meski pemberitaan media akan mode selalu mengabaikan perempuan berukuran tubuh yang lebih besar, namun mereka ada dan tetap mengikuti mode.
Dan meski pada 1930an gaya yang menonjolkan pinggang dengan gaun berpotongan bias yang merampingkan kembali muncul, namun jelas bahwa para perancang mulai melayani perempuan yang lebih besar daripada para perempuan yang terlihat pada majalah atau foto-foto mode pada masa itu.
Sebuah gaun metalik sutra dari House of Paquin memiliki ukuran pinggang 31 inchi (78.74 cm).
Menerima keberagaman
Pada 1940an, gaya bahu besar dan pinggang ramping populer berkat perancang kostum film, Gilbert Adrian, dan siluet itu pun mendominasi dekade tersebut, sampai kemudian Christian Dior melepaskan diri dari konvensi ketat dengan 'New Look' atau Gaya Baru yang menekankan dada yang menonjol dan pinggang yang ramping dan membutuhkan bahan kain sampai 20 meter.
"Dia ingin menciptakan gaun yang menjadi balasan atas kemiskinan pada era perang," kata Bruna.
Gaya yang ultra-feminin ini pun mewakili era 1950an.
Pada 1960an, bentuk tubuh androgini atau potongan yang seperti lelaki diwakili oleh model kurus Twiggy, namun tak seperti pada era 1920an, pakaian dari era 1960an yang lebih terbuka, seperti gaun terusan karya Rudi Gernreich dengan panel bagian pinggang berbahan plastik, tidak memungkinkan pemakaian korset.
Meski korset sudah tak lagi sepopuler dulu, namun perempuan tetap saja menghadapi serangkaian ikatan lain, dengan tekanan soal diet dan olahraga sepanjang 1970an dan 1980an demi mempertahankan tubuh yang ramping dan kencang yang dibutuhkan untuk rancangan sensual yang mengalir karya Halston atau gaun ketat berlekuk karya Thierry Mugler.
Pada 1980an, majalah mode mengidealkan tubuh ramping dengan dada besar yang paradoks, tampilan yang bagi sebagian besar orang bisa dicapai lewat bedah plastik, dan kemudian pada 1990an muncul gaya kurus ekstrem Kate Moss.
Meski gaya fisik yang ramping masih mendominasi industri mode sampai awal abad 21, meningkatnya penggunaan media sosial telah mulai mengubah cara orang mengonsumsi dan berinteraksi dengan mode. Blog gaya personal seseorang dan platform seperti Instagram dan Twitter berperan dalam membuka industri mode pada kalangan yang lebih luas.
Beberapa label telah secara antusias merangkul pendapat yang lebih inklusif akan bentuk tubuh dalam mode.
Label Chromat milik perancang Becca McCharen-Tran sering menggelar peragaan dengan model yang paling beragam, dari berbagai etnis, ukuran, serta identitas gender.
Christian Siriano memasukkan model perempuan berukuran plus di peragaannya dan membuat pakaian sampai size 26.
Saat aktris Leslie Jones mengeluh di Twitter bahwa tidak ada label yang mau mendandaninya karena ukurannya, Siriano mengatakan dia bangga untuk melakukannya dan membuat gaun merah yang memesona.
Kisah ini memunculkan lagi perdebatan tentang marjinalisasi ukuran tubuh tertentu oleh label kontemporer, dan menurut McClendon, debat ini harus diteruskan.
"Bukan tubuh kita yang salah, sistem pengukuranlah yang salah," katanya. "Sampai kita mengakui ada yang salah dalam sistem ini, kita tidak bisa memperbaikinya."