Mungkinkah Manusia Bisa Hidup dan Bekerja Bersama Robot? (Bagian 3)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mungkinkah Manusia Bisa Hidup dan Bekerja Bersama Robot? - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Delvaux dan rekan-rekannya juga menyerukan satu Kode Etik untuk membantu kita dalam mengarahkan hubungan manusia dengan robot.

"Harus ada beberapa hal yang kita hormati, seperti otonomi seseorang dan privasinya," tegas Delvaux.

Hal itu mengangkat masalah lain yang berkaitan dengan kecerdasan buatan, yatu masalah bias. Sistem pembelajaran mesin bisa bagus jika data yang diberikan untuk mereka pelajari juga bagus, dan sebuah studi memperkirakan bahwa kecerdasan buatan bisa mengembangkan tendensi rasis dan seksis.

Delvaux juga merujuk pada orang yang menyusun algoritme. Mayoritas pekerja di teknologi industri adalah pria kulit putih dan sekitar 70% hingga 90% pekerja di perusahaan-perusahaan besar yang paling berpengaruh adalah pria.

Lembah Silicon terguncang beberapa tahun belakangan dengan skandal diskriminasi jenis kelamin. Hal itu meningkatkan kekhawatiran bahwa robot dan mesin mungkin akan menerapkan perilaku diskriminatif yang sama.

"Hanya seirisan kecil populasi yang saat ini merancang teknologi," kata Judy Wajcman, guru besar sosiologi di London School of Economics. "Teknologi perlu mencerminkan kehidupan, jadi ada kebutuhan untuk perubahan dalam disain dan inovasi."

Sementara itu Bill Gates menyarankan masalah etis yang lain bahwa robot harus dipungut pajak untuk menutup berkurangnya pajak pendapatan dari para karyawan. Ada juga saran bahwa sejalan dengan robot yang melakukan lebih banyak tugas, maka makin kuat pula alasan untuk 'pendapatan dasar bersama', yaitu tunjangan keuangan dari negara untuk semua warga.

Tentu saja asumsinya adalah robot bisa melakukan tugas yang kita tentukan. Namun, terlepas dari kecerdasannya yang nyata, sebagian besar robot tetap merupakan peralatan yang sangat dungu jika dibanding dengan kemampuan kita.

Jalan maju untuk mesin

Seperti terungkap dalam contoh perakitan Ikea tadi, AI punya banyak peluang untuk peningkatan.

Mungkin salah satu masalah terbesar yang dihadapi komunitas AI dan mesin yang bisa belajar adalah memahami bagaimana algoritmenya bekerja. "Kecerdasan buatan dan mesin yang bisa belajar masih berupa kotak hitam," kata Manyika. "Kita tidak bisa membukanya untuk menemukan bagaimana mereka bisa mendapat tanggapan yang mereka hasilkan."

Ada beberapa masalah di sini. Sistem belajar mesin dan AI biasanya menggunakan seperangkat gambar dan data yang dimasukkan untuk memungkinkan mereka mengenali pola dan kecenderungan. Mereka kemudian menggunakannya untuk menemukan pola yang sama jika mendapat data baru.

Mungkin tidak masalah dalam pemindaian berbasis komputer atau CT scan untuk memperlihatkan tanda-tanda penyakit, misalnya, namun akan sulit jika menggunakan sistem yang sama untuk mengidentifikasi tersangka berdasarkan potongan rekaman kamera pengawas, karena kita tahu akan amat penting artinya ketika dijadikan sebagai bukti di persidangan.

Bahkan dalam hal kendaraan bermotor otomatis, kemampuan untuk melakukan generalisasi masih menjadi tantangan besar.

Takeo Kanade, guru besar robotik di Universitas Carnegie Mellon di Pennsylvania, AS, adalah salah satu pelopor dalam kendaraan yang bisa mengemudi sendiri dan merupakan pakar komputer. Dia mengatakan memberi 'pemahaman yang benar' tentang dunia sekitar kepada robot masih merupakan tantangan teknis yang harus diatasi.

"Bukan hanya dalam mengidentifikasi di mana objek-objek berada," jelasnya usai memberi kuliah di acara Penghargaan Kyoto di Oxford yang memaparkan masalah-masalah yang dihadapi para peneliti. "Teknologi harus bisa memahami yang dilakukan dunia di sekitarnya. Misalnya, apakah orang itu akan benar-benar menyeberang jalan di depan atau tidak?"

Hawes juga menghadapi masalah serupa dalam proyeknya yang mengerahkan 'manajer kantor magang otomatis' di beberapa kantor di Inggris dan Austria.

Tim memprogram robot yang diberi nama Betty untuk berkeliling kantor untuk melakukan pengawasan, seperti apakah pintu darurat tertutup, mengukur tingkat kebisingan, serta menghitung para pekerja yang masih berada di mejanya di luar jam kerja normal.

"Ada hal-hal yang terjadi di lingkungan itu, seperti kursi yang dipindahkan, orang yang menggeser meja atau pot tanaman," jelasnya. "Untuk mengatasi hal itu tanpa memprogram ulang seluruh robot merupakan tantangan."

Terlepas bahwa robot tidak sempurna, manusia tetap bisa menemukan jalan untuk bekerja bersama dengan robot.

Dalam kasus Betty, misalnya, ada yang mengejutkan, yaitu mereka yang bekerja bersama Betty memberi tanggapan yang positif kepada rekannya yang mekanis itu, bahkan datang membantu jika robot terjebak di salah satu sudut. 

"Orang-orang menyapanya pada pagi hari dan mengatakan robot membuat kantor menjadi lebih menarik sebagai tempat kerja," kata Hawes.

Jadi, jika kita bisa menyerahkan sebagian pekerjan kita yang membosankan dan berulang-ulang kepada mesin, maka kita akan terbebaskan untuk melakukan hal-hal yang kita nikmati. "Hasilnya adalah kerja berpotensi untuk menjadi lebih menarik," kata Frey.

"Pemikiran yang menggoda, bahwa mungkin saja, meningkatnya mesin bisa jadi akan membuat pekerjaan kita jadi lebih manusiawi."