Siapa yang menghadapi risiko otomatisasi, dan seperti apa tempat kerja Anda kelak dalam waktu lima tahun mendatang?
Semakin banyak perusahaan yang beralih ke mesin-mesin cerdas untuk menghemat pekerja manusia yang lambat dan mahal. Berikut yang perlu Anda ketahui tentang otomatisasi dan pengaruhnya bagi pekerjaan Anda.
Dengan jari yang lembut dan gesit, sebuah lengan dengan hati-hati mengambil apel dan menaruhnya lembut ke dalam keranjang. Lengan itu bertugas kembali, untuk sekantong jeruk nipis dan merica tanpa lelah, tanpa keluhan.
Itulah prototipe dari lengan robot yang diuji Ocado, toko serba ada internet di Inggris. Bentuk dan kehalusan yang berbeda dari bahan pangan sehari-hari membuat manusia yang bekerja untuk membungkusnya di gudang Ocado.
Namun Ocado sedang mengupayakan teknologi robotik yang bisa membantu para pekerja manusia di gudang tadi, dengan tetap menangani produk secara aman, agar prosesnya lebih cepat dan lebih murah bagi perusahaan.
Ocado jelas bukan satu-satunya perusahaan yang mengupayakan otomatisasi pekerjaan, karena juga berlangsung di rumah sakit, firma hukum, bursa saham dan daftarnya terus memanjang.
Pertanyannya adalah, bagaimana dampaknya bagi pekerja manusia? Bagaimana pengaruhnya terhadap Anda? Siapa yang menghadapi risiko, dan seperti apa tempat kerja Anda kelak dalam waktu lima tahun mendatang?
Jawabannya mungkin mengejutkan.
Kelas menengah yang berisiko
Laporan-laporan memperlihatkan, 47% orang yang bekerja di Amerika Serikat menghadapi risiko akan digantikan oleh mesin, 35% di Inggris menghadapi ancaman yang sama, dan tingkat yang lebih tinggi lagi di negara-negara berkembang, dengan dua pertiga lapangan kerja terancam otomatisasi.
Mesin yang mencuri pekerjaan bukanlah sesuatu yang baru. "Otomatisasi sudah terjadi sebelumnya," kata Bhagwan Chowdhry, guru besar keuangan di Universitas California, Los Angeles.
Chowdhry menunjuk pada peralihan yang terjadi di pabrik-pabrik pada masa revolusi industri, ketika mesin tenun dan mesin-mesin lainnya mengambil alih pekerjaan penenun manusia.
Jadi apa yang berbeda kali ini? "Tidak hanya akan mempengaruhi para pekerja kasar saja," kata Chowdry. "Tapi juga banyak pekerja kantoran."
Sering sekali kita berpikir bahwa yang paling berisiko adalah pekerjaan bergaji kecil dengan ketrampilan rendah - seperti pekerja di gudang atau kasir - tapi otomatisasi juga mempengaruhi pekerjaan kelas menengah, seperti pegawai administrasi, koki, karyawan kantor, petugas keamanan, pengacara muda, dan pengawas.
Mereka yang berada dalam barisan yang akan dipecat bisa dipahami menjadi cemas. "Kekhawatiran lebih pada transisi kepanikan," kata Carl Benedikt Frey, salah seorang direktur di Program Oxford Martin untuk Teknologi dan Lapangan Kerja.
"Banyak pekerjaan yang kita lihat akan menjadi otomatis membutuhkan ketrampilan yang berbeda dari pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan tersebut. Tantangan utamanya adalah menjamin mereka yang mengalami perpindahan (pekerjaan) akan menemukan sesuatu yang bermakna untuk dilakukan," jelasnya.
Jadi apakah sebaiknya perusahaan-perusahaan yang mengupayakan otomatisasi memiliki tanggung jawab moral juga untuk membantu para pekerja, yang tergantikan mesin tadi, belajar keterampilan baru?
Pekerjaan yang tahan masa depan
Jawabannya mungkin bukan hanya di perusahaan-perusahaan tapi berawal di sekolah. Cara kita saat ini dalam menyusun pendidikan mungkin tidak tepat lagi untuk dunia yang menghadapi perubahan teknologi yang amat pesat.
"Kekhawatirannya adalah kita tidak memperbarui pendidikan, pelatihan, dan kelembagaan politik untuk menghadapinya," kata Erik Brynjolfsson, direktur Prakarsa untuk Ekonomi Digital di Massachusetts Institute of Technology, MIT. "Kita bisa membuat banyak orang tertinggal di belakang."
Brynjolfsson dan Paul Clarke, pimpinan teknologi di Ocado, sama-sama sepakat bahwa sekolah dan pendidikan kejuruan membutuhkan persiapan yang lebih baik untuk dunia yang akan dipenuhi robot dan kecerdasan buatan, AI.
Di tempat kerja, para karyawan juga terus-menerus membutuhkan seperangkat keterampilan baru dan bukan hanya menggunakan keterampilan yang sama sepanjang karier, yang mungkin saja menjadi ketinggalan zaman.
"Perbedaan antara kerja dan belajar mungkin perlu dibuat menjadi tidak jelas," kata Chowdhry. "Saat ini kita memiliki dikotomi, yaitu mereka yang bekerja tidak belajar, dan mereka yang belajar tidak bekerja. Kita perlu memikirkan untuk ke luar dari pekerjaan tradisional selama lima hari seminggu menjadi 'saya menghabiskan 60% waktu untuk bekerja dan 40% untuk belajar secara teratur."
Bagi sebagian besar orang, hal tersebut bisa menjadi perubahan penting dalam cara berpikir.
Penelitian oleh sebuah perusahaan konsultan manajemen, McKinsey Company, memperkirakan tak sampai 5% dari pekerjaan yang sepenuhnya bisa dilakukan secara otomatis dengan teknologi yang ada saat ini. Alasannya, pekerjaan kita terlalu bervariasi dan berubah-ubah untuk bisa diambil alih oleh robot.
Namun diperkirakan dari sekitar 60% pekerjaan, kira-kira sepertiga kegiatannya bisa diserahkan kepada mesin. Artinya, banyak dari antara kita yang masih tetap bisa bertahan di pekerjaannya, tapi cara melakukannya mungkin akan berubah sama sekali.
Baca lanjutannya: Mungkinkah Manusia Bisa Hidup dan Bekerja Bersama Robot? (Bagian 2)