Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Banyak Orang Zaman Sekarang Suka Kerja Berlebihan? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Namun, bersama dengan pemujaan terhadap pekerjaan, muncul konsekuensi tidak mengenakkan - kelelahan atau burnout.
Profesor Maslach telah mempelajari burnout sejak tahun 1970-an. Pada masa itu, kelelahan dalam pekerjaan dipelajari di kalangan relawan di klinik rehabilitasi obat dan pekerja lain di industry jasa, banyak dari mereka yang harus siaga sampai larut malam, dan melaporkan bahwa mereka mengalami sakit kepala, depresi, dan jadi mudah marah saat bertugas.
Satu dekade kemudian, ketika ekonomi sedang maju di negara-negara seperti Inggris dan AS, obsesi pada kapitalisme meroket dan banyak orang bekerja keras dalam waktu yang panjang. Namun sementara kerja berlebihan dipuja-puja, kelelahan yang mengikutinya tidak.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan burnout sebagai suatu sindrom "yang diakibatkan oleh stres kronis di tempat kerja yang tidak dikelola dengan baik", dan dicirikan dengan perasaan letih, perasaan negatif tentang pekerjaan, dan berkurangnya produktivitas pribadi.
Dengan kata lain, kelelahan membuat Anda merasa seperti bukan manusia, lelah fisik dan emosi, dan mempertanyakan mengapa Anda menerima pekerjaan ini. WHO secara formal mengakui burnout sebagai 'fenomena pekerjaan' pada 2019.
"Hari ini, sudah jauh lebih parah," kata Lechner. Beberapa dekade yang lalu, "fenomena burnout tidak seluas sekarang".
Situasinya sekarang lebih buruk, menurut Lechner, karena kita mengagung-agungkan para pengusaha teknologi yang terkenal jarang tidur.
(CEO Tesla dan SpaceX pernah menulis perihal perusahaannya, "ada banyak tempat kerja lain yang lebih mudah, tapi tidak ada yang mengubah dunia dengan bekerja 40 jam per minggu".)
"Perbedaan siang dan malam atau, 'Mari bekerja sampai jam lima sore lalu minum-minum dan tidur jam 10 malam' itu untuk Abad ke-20. Abad ke-21 sangat berbeda," kata Lechner.
"Kita hidup dalam kultur yang 24/7. Media sosial itu 24/7, komunikasi itu 24/7, Amazon Prime itu 24/7. Semuanya 24/7. Kita tak lagi memiliki batasan yang kaku."
Kultur memuja kerja keras telah ada selama puluhan tahun, baik berupa mengagungkan pekerjaan prestisius di kantor mewah atau bekerja terus-menerus untuk mewujudkan impian.
Masa depan
Namun meskipun kita bekerja begitu keras, dan pekerja muda menghadapi kombinasi yang mungkin toksik antara tekanan finansial besar (utang mahasiswa, gaji kecil, harga rumah yang mahal), tekanan untuk menemukan 'passion' mereka, dan tekanan untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil di pasar kerja yang semakin tidak aman, tidak ada tanda-tanda perubahan yang lebih baik.
Survei pegawai oleh 13 analis tahun pertama di Goldman Sachs terungkap ke publik. Para responden mengatakan mereka bekerja rata-rata 95 jam seminggu dan tidur lima jam sehari.
"Ini sudah melampaui level 'kerja keras', ini tidak manusiawi/penganiayaan," kata seorang responden survei tersebut.
Di tempat lain, para pengguna TikTok dari Generasi Z telah buka-bukaan tentang masalah kesehatan jiwa, dan membangun komunitas untuk membicarakan depresi, serangan panik, dan kelelahan secara terbuka.
Dan pandemi telah memaksa kita untuk melihat work-life balance (keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan) dengan cara yang sepenuhnya baru.
LinkedIn pernah melakukan survei terhadap lebih dari 5.000 pengguna selama dua minggu: 50% dan 45% responden mengatakan bahwa fleksibilitas jam atau lokasi kerja dan work-life balance masing-masing telah menjadi lebih penting bagi mereka sejak pandemi.
"Pandemi telah sangat berdampak tidak hanya dengan membuat kentara banyak hal yang paling penting - kesehatan, keluarga, hubungan - dan mengganggu beberapa rutinitas dan sistem yang membuat banyak orang bisa terus bekerja," kata Maitlis.
Menanggapi perkembangan ini, beberapa perusahaan mulai menawarkan program kesehatan mental yang lebih lengkap, mencakup fasilitas seperti sesi terapi gratis atau akses ke aplikasi kesehatan.
Namun demikian, para pakar berpikir bahwa kemungkinan besar kita belum akan memprioritaskan kesejahteraan daripada kerja keras. Contohnya, meskipun teknologi telah memungkinkan kita untuk bekerja dari rumah kapan pun kita mau, ia juga mengikat kita pada pekerjaan sepanjang hari.
Jika ada telekonferensi yang diikuti pegawai dari London, Tokyo, New York, dan Dubai, beberapa orang harus bangun pada pukul dua pagi untuk menghadirinya.
Jika mereka tidak mau melakukannya, perusahaan akan mencari orang lain yang mau - karena selama kita mengagungkan uang, status, dan pencapaian, akan selalu ada orang-orang yang bekerja keras untuk mendapatkannya.
Dan pada akhirnya, perusahaan ingin mendapat keuntungan. "Kita sudah sejak lama mendehumanisasi tempat kerja, dan saya tidak bangga mengatakannya," kata Lechner.
Bagi banyak perusahaan, aturannya masih: "Kalau kamu tidak kerja, orang lain yang akan melakukannya. Dan kalau itu tidak membantu, kami akan serahkan ke kecerdasan artifisial (AI). Dan jika AI mengambil alih, kami akan merekrut tenaga kerja lepas." Anda harus kerja ekstra keras, atau ketinggalan.
Karena itu ia tidak percaya bahwa masalah burnout akan segera selesai di masa depan. "Ini mungkin bukan pesan yang ingin didengar banyak orang. Mereka pikir mereka menjalin hubungan dengan majikan, yang aturannya, 'Saya kerja keras untuk Anda, Anda urus kebutuhan saya'. Lagi-lagi, ini pola pikir abad 20."
Kita sedang berada di persimpangan: kita bisa memprioritaskan kesejahteraan kita, atau memprioritaskan mengirim email pada pukul tiga pagi untuk membuat bos terkesan.
Mengizinkan pegawai bekerja dari rumah tidak sepenuhnya meringankan beban mereka - para pegawai harus berhenti menjadikan kelelahan sebagai sesuatu yang baik, dan perusahaan harus berhenti membuat pegawainya merasa bahwa mereka seharusnya menginginkannya.
"Tempat kerja dapat menjadi lingkungan yang sangat tidak sehat. Jika ada waktu yang tepat untuk mengubah cara kita bekerja, itu adalah sekarang," kata Maslach.
"Jika Anda punya tanaman di dalam pot dengan tanah yang gersang dan tidak memberinya cukup air dan sinar matahari, sebagus apa pun tanaman itu pada awalnya - ia tidak akan tumbuh dengan baik."