Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah 6 Pendekar Legendaris Indonesia, Antara Mitos dan Fakta - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
4. Arya Penangsang
Pada saat Kerajaan Pajang mencapai kejayaan di wilayah pesisir dan wilayah timur dengan masa pemerintahan Sultan Adiwijaya, semua rakyat dan para penguasa tunduk kepadanya. Hanya ada satu orang yang tidak mau tunduk, yaitu Adipati Jipang yang bernama Arya Panangsang.
Sultan Adiwijaya bersikeras untuk menundukkan Arya Panangsang, lalu mengumpulkan para penasehat raja, berunding untuk menundukkan Arya Panangsang. Hasil rundingan diputuskan untuk diumumkan ke masyarakat. "Barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Panangsang dari Jipang, akan diberi hadiah dan harta kekayaan".
Namun strategi itu gagal dilakukan.
Strategi selanjutnya adalah mengirim pesan kepada Arya Panangsang melalui tukang kebunnya, yang diiris kupingnya. Arya Panangsang marah, dan memutuskan untuk melawan Sultan Adiwijaya. Karena tidak sabaran, Arya Panangsang pergi dulu. Setibanya di sungai Bengawan, ternyata sudah banyak pasukan Sultan Adiwijaya yang menantinya.
Dengan gigih, Arya Panangsang menggunakan tombak saktinya untuk merobohkan banyak pasukan. Akan tetapi, di sela perperangan, Arya Panangsang mendapatkan luka di bagian perutnya, sehingga ususnya keluar. Oleh Arya Panangsang, ususnya dililitkan di kerisnya, dan melanjutkan peperangan tersebut. Betapa gigih dan pemberaninya Arya Panangsang.
Karena peperangan tersebut tidak seimbang, karena banyaknya pasukan, sedangkan Arya Panangsang hanya seorang diri, meluncurlah sebuah tombak menancap di dada Arya Panangsang. Sewaktu Arya Panangsang ingin membalas dengan kerisnya, ia lupa bahwa ususnya ia lilitkan di keris. Akhirnya keris dicabut, dan ususnya terputus, yang mengakibatkan Arya Panangsang tewas.
5. Sangkuriang
Sangkuriang lahir dari kehidupan para siluman yang hidup bersama manusia. Pada waktu itu adalah masa kejayaan Kerajaan Parahyangan, dengan seorang raja, Prabu Sungging Prabangkara.
Sangkuriang tumbuh di hutan belantara, dibesarkan oleh petapa yang sudah tua. Ia banyak belajar ilmu-ilmu kesaktian, dan sering melakukan pertapaan. Beranjak dewasa, Sangkuriang menjadi pemuda yang gagah perkasa, sakti mandraguna, dan tampan.
Diawali sebuah kisah, ia sedang berkelana, dan pada sebuah hutan ia menolong seorang wanita yang sedang terancam jiwanya oleh seekor badak besar yang ganas, siap menerjang. Dengan gerak cepat, Sangkuriang menolong wanita itu dari marabahaya, menggunakan kesaktiannya.
Tanpa disadari, Sangkuriang terpesona terhadap wanita ini, dan ternyata wanita tersebut adalah ibu kandungnya.
Sangkuriang ingin meminang wanita itu, tetapi wanita tersebut keberatan karana Sangkuriang adalah anak kandungnya. Supaya tidak terlaksana, maka wanita tersebut memberi persyaratan untuk bisa meminangnya, yaitu dengan membuat sebuah danau dan perahu besar dalam satu malam. Akhirnya Sangkuriang menyanggupinya, namun gagal.
Perahu yang setengah jadi itu ditendang oleh Sangkuriang, dan lama kelamaan berubah menjadi gunung merapi yang sekarang disebut gunung Tangkuban Perahu.
6. Joko Tole
Seorang raja, bernama Sri Baginda Brawijaya, memerintahkan kepada Empu Keleng untuk dibuatkan pintu gerbang besi yang besar dan megah. Dan sudah satu tahunan Empu Keleng beserta temannya mengerjakannya, tetapi belum rampung juga pintu gerbang besinya.
Tenaga semakin berkurang, dan Empu Keleng jatuh sakit, dan tidak bisa melanjutkan perkerjaan menyelesaikan tugas yang diberikan Sri Baginda Brawijaya. Lalu Empu Keleng mengirim berita kepada anak angkatnya, yang bernama Jaka Tole. Ia segera menyusul Empu Keleng di Majapahit.
Dalam perjalanan melewati beberapa desa, Jaka Tole bertemu dengan seorang berjubah hitam mengenakan ikat kepala. Lalu terjadi dialog antara Jaka Tole dengannya. Jaka Tole menceritakan tujuan ke Majapahit untuk menyelesaikan pekerjaan pintu gerbang besi yang besar dan megah itu dalam sehari.
Orang berjubah itu memberikan setengkai bunga, dan disuruhnya Jaka Tole memakannya. “Nanti, sesampai di Majapahit, bakarlah tubuhmu. Nanti dari pusarmu akan keluar patrian untuk menyambung besi-besi pintu gerbang.”
Kemudian Jaka Tole melanjutkan perjalanannya ke Majapahit, dan akhirnya sampai dan menemuni sang Raja Sri Baginda Brawijaya. Lalu Jaka Tole berkesanggupan untuk membantu ayah angkatnya, Empu Keleng, dan menyelesaikan tugasnya membaut pintu besi yang besar dalam satu malam.
Lalu Jaka Tole mengumpulkan para pekerjanya, dan memberitahukan bahwa Jaka Tole mempunyai patrian besi yang sangat hebat, yaitu dengan cara dibakar tubuhnya, dan di bagian pusarnya keluar cairan patri yang bisa digunakan untuk menyelesaikan pembuatan pintu besi.
Dan dalam satu malam, pekerjaan itu terselesaikan. Pintu besar besi jadi. Raja Brawijaya sangat senang menyaksikan pintu gerbang itu. Kemudian Raja Brawijaya memberikan hadiah berupa perhiasan perak dan emas.