Kisah 6 Pendekar Legendaris Indonesia, Antara Mitos dan Fakta (Bagian 1)


Kita tentu sering mendengar nama Si Pitung, Sangkuriang, Jaka Tarub, Joko Tingkir dan lain sebagainya. Bahkan di televisi sering ada film dan sinetron yang mengangkat nama-nama pendekar atau jagoan tersebut. Apakah mereka benar ada, atau hanya mitos? 

1. Si Pitung

Pitung adalah salah satu pendekar asli Indonesia, dari daerah Betawi, yang berasal dari kampung Rawabelong Jakarta Barat. Pitung dididik orang tuanya, berharap menjadi orang saleh taat agama. Ayahnya, Bang Piun, dan ibunya, Mpok Pinah, menitipkan Pitung untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji Naipin. 

Setelah dewasa, Pitung melakukan gerakan bersama teman-temannya, karena ia tidak tega melihat rakyat yang miskin. Untuk itu, ia bergerilya untuk merampok, yang hasil rampasannya dibagikan kepada rakyat miskin yang memerlukan. 

Selain itu, Pitung suka membela kebenaran. Kalau bertemu dengan para perampas demi kepentingannya sendiri, Si Pitung akan melawannya.

Gerakan Pitung semakin meluas dan akhirnya kompeni Belanda yang saat itu memegang kekuasan di Indonesia melakukan tindakan terhadap Pitung. Pemimpin polisi Belanda mengerahkan pasukan untuk menangkap Pitung, namun berkali-kali serangan tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Pitung selalu lolos. Ditambah Si Pitung mempunyai ilmu kebal terhadap senjata tajam dan sejata api. 

Kompeni Belanda pun tidak kehilangan akal. Pemimpin pasukan Belanda mencari guru si Pitung, yaitu Haji Naipin. Disandera dan ditodongkan sejata ke arah Haji Naipin, agar memberikan cara melemahkan kesaktian Si Pitung. Akhirnya Haji Naipin menyerah dan memberitahu kelemahan-kelemahan Si Pitung.

Pada suatu saat, Belanda mengetahui keberadaan Si Pitung dan langsung menyergap dan menyerang secara tiba-tiba. Pitung mengadakan perlawanan, namun akhirnya tewas karena kompeni Belanda sudah mengetahui kelemahan si Pitung.

2. Joko Tingkir dari Lamongan

Joko Tingkir mempelajari ilmu sakti dari Ki Buyut Banyubiru. Ia mempelajari ilmu sakti tersebut karena ingin menebus pengampunan, karena ia telah membunuh Dadungawuk, saudara Sultan Demak. 

Ki Buyut Banyubiru memberikan pelajaran-pelajaran ilmu saktinya di Gunung Lawu. Salah satunya adalah dengan merendam diri dalam sungai yang dingin, dengan tujuan dapat mengendalikan hawa nafsu.

Setelah beberapa bulan lamanya Joko Tingkir menimba ilmu, Ki Buyut Banyubiru memperbolehkan Joko Tingkir menemui Sultan Demak untuk meminta pengampunan atas hal yang dilakukannya, yaitu membunuh Dadungawuk. 

Dalam perjalanannya menuju tempat Sultan Demak, Joko Tingkir banyak menghadapi binatang-binatang buas yang menghadangnya, salah satunya adalah menaklukan raja buaya dan gerombolannya.

Sesampai di desa Sultan Demak, kebetulan di desa tersebut sedang terjadi serangan banteng buas yang mengamuk dan memporakpondakan seisi desa. Pada saat itu juga Joko Tingkir bertemu dengan Sultan Demak untuk meminta pengampunan, dengan persyaratan harus dapat melawan banteng buas tersebut. Sultan Demak menyetujui. 

Akhirnya Joko Tingkir berhasil melawan banteng buas dengan sebuah pukulan ke kepala banteng, hingga akhirnya banteng tersebut mati.

Prajurit di desa itu terkagum dengan aksi Joko Tingkir yang telah menghadapi banteng buas dengan tegar dan mengalahkannya. Sultan Demak mengampuni perbuatan Joko Tingkir tempo hari dan memaafkannya. Kemudian Joko Tingkir diangkat sebagai pempimpin laskar tamtama, dan akhirnya menjadi menantu Sultan Demak.

3. Jaka Tarub

Di suatu desa pedalaman di Indonesia, hidup seorang janda dan seorang anak bernama Jaka di dusun Tarub. Semasa kecilnya, ia suka bermain-main dengan kebiasaannya, yaitu menyumpit burung. Sampai dewasa pun, sumpitnya selalu dibawa-bawa kemana pun. 

Pada suatu hari, Jaka Tarub sedang berjalan di tengah hutan dan melihat burung-burung. Jaka Tarub menyumpitnya, tapi tidak kena. Burung-burung itu beterbangan dan dikejar oleh Jaka Tarub. Padahal hutan yang dilaluinya adalah hutan yang angker sekali. 

Di tengah kesibukan mengejar burung, Jaka Tarub mendengar suara beberapa wanita yang sedang mandi di sebuah air terjun kecil. Jaka Tarub mengintai dan mengintip dari balik semak-semak belukar. Dan melihat ada sebuah selendang di dekatnya, dan diambilnya.

Ternyata wanita-wanita yang sedang mandi itu adalah kumpulan bidadari yang turun dari kahyangan. Salah satu bidadari menyadari kalau Jaka Tarub mengintip mereka yang sedang mandi. Akhirnya, semua bidadari di situ panik dan terbang kembali ke kahyangan. Kecuali satu bidadari, kebingungan mencari selendangnya yang di ambil Jaka Tarub. 

Lalu si bidadari dan Jaka Tarub saling menyapa. Bidadari ikut dengan Jaka Tarub ke desanya, lalu mereka hidup bersama sampai mempunyai 1 anak. Selama hidup Jaka Tarub, walau kerjanya hanya tidur-tidur saja, tapi hasil pangannya melimpah karena keajaiban dari bidadari. Lumbung selalu penuh, masakan cepat tersaji banyak.

Pada suatu saat, Jaka Tarub tak sengaja melanggar janji yang diberikan oleh bidadarinya, yaitu tidak boleh membuka hidangan sebelum matang. Akhirnya keajaiban sang bidadari hilang. Dan mereka kembali harus bekerja keras setiap hari. 

Suatu hari, si bidadari menemukan selendangnya yang disimpan Jaka Tarub. Akhirnya perpisahan pun terjadi. Bidadari kembali pergi kekayangan, meninggalkan Jaka Tarub beserta anaknya.

Baca lanjutannya: Kisah 6 Pendekar Legendaris Indonesia, Antara Mitos dan Fakta (Bagian 2)