Gula Jagung Sering Dianggap Lebih Sehat Dibanding Gula Biasa, Benarkah?


Gula jagung adalah produk substitusi atau pengganti gula biasa, yang kerap digunakan di minuman bersoda atau minuman dengan perasa buah lainnya. Secara kimia, gula yang tinggi fruktosa ini berbeda dengan gula biasa. Ada kontroversi bahwa gula jagung lebih berbahaya bagi tubuh, namun belum banyak bukti yang mendukung.

Satu yang pasti, mengonsumsi segala jenis pemanis, entah gula jagung atau gula pasir biasa, dapat menambah asupan kalori. Jika terus menerus terjadi dalam jangka panjang, tentu kesehatan menjadi konsekuensinya, seperti risiko penyakit jantung dan diabetes.

Apakah gula jagung sehat?

Idealnya, konsumsi gula tidak lebih dari 10% dari seluruh asupan kalori dalam sehari. Ini bukan hanya gula dalam bentuk gula pasir atau gula jagung saja, tapi juga makanan dan minuman apapun yang manis.

Jika ingin menjaga kesehatan tubuh, kurangi asupan pemanis tambahan dalam bentuk apapun. Terlebih, jenis pemanis seperti gula jagung yang dulunya disebut high fructose corn syrup digunakan di hampir seluruh makanan yang diproses.

Gula jagung diperoleh dari proses pembuatan sirup jagung (corn syrup). Di Amerika Serikat, sudah tidak asing lagi menggunakan gula jagung sebagai tambahan pemanis di makanan olahan dan minuman soda.

Dulu, gula dari jagung populer pada akhir tahun 1970an, saat harga gula biasa melejit tinggi. Sementara di saat yang sama, harga jagung cukup rendah karena ada subsidi dari pemerintah.

Gula jagung kerap dituding sebagai pemicu obesitas dan masalah penyakit lainnya. Sehingga gula jagung untuk diet tidak disarankan. Banyak yang menganggap gula jagung lebih buruk ketimbang gula biasa. Meski demikian, para pakar sepakat bahwa belum ada bukti kuat mendukung klaim ini.

Justru, mengonsumsi gula atau pemanis tambahan dalam jenis apapun tetap buruk bagi kesehatan.

Gula jagung terbuat dari jagung yang biasanya termasuk makanan rekayasa genetika. Pada tahap awal, jagung digiling untuk mendapatkan tepung jagung yang bisa diolah menjadi sirup jagung.

Kandungan utama sirup jagung adalah glukosa. Untuk membuatnya semakin mirip dengan rasa gula pasir biasa (sukrosa), dilakukan konversi glukosa menjadi fruktosa dengan enzim tertentu.

Secara struktur kimia, kandungan fruktosa dan glukosa dalam sirup jagung tidak menyatu seperti sukrosa dalam gula pasir. Meski demikian, perbedaan ini tidak berpengaruh terhadap dampaknya pada kesehatan.

Ketika masuk dalam tubuh, sistem pencernaan akan mengolah gula menjadi fruktosa dan glukosa. Artinya, gula jagung dan gula biasa akan berakhir dengan bentuk yang sama.

Apakah gula jagung baik untuk penderita diabetes melitus?

Alasan utama mengapa pemanis tambahan tidak sehat adalah karena tingginya kandungan fruktosa di dalamnya. Sementara di tubuh, hanya liver yang bisa mengolah fruktosa dalam jumlah signifikan. Ketika kinerja liver kewalahan, maka fruktosa akan dikonversi menjadi lemak.

Lemak inilah yang kemudian bisa mengendap di liver, dan menyebabkan perlemakan hati. Tak hanya itu, konsumsi fruktosa berlebih juga bisa mengakibatkan resistansi insulin, sindrom metabolik, obesitas, dan diabetes tipe 2.

Penelitian menunjukkan bahwa gula jagung tidak baik untuk penderita diabetes karena kandungan fruktosa di dalamnya. 

Percobaan penelitian memberikan fruktosa dan larutan sukrosa pada tikus. Hasilnya menunjukkan, tikus yang mendapatkan larutan fruktosa akan lebih cepat mengalami obesitas. Sementara tikus yang mendapatkan larutan sukrosa lebih baik dalam mengatasi berat badan.

Kebiasaan mengonsumsi fruktosa juga bisa memicu terjadinya resistensi insulin. Akibatnya, risiko terjadinya diabetes atau kencing manis akan meningkat.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa mengonsumsi fruktosa dalam jumlah tinggi selama 7 hari bisa memicu terjadinya dislipidemia. Ini adalah kondisi di mana terjadinya deposisi lemak di hati, yang bisa menurunkan sensitivitas insulin pada tubuh.

Dampaknya bagi kesehatan, jika dikonsumsi berlebih, akan sama-sama berbahaya. Jadi, tidak ada yang bisa disebut lebih sehat ketika membandingkan antara gula jagung dan gula biasa.

Belum ada bukti kuat yang menganggap gula jagung lebih buruk jika dikonsumsi, begitu pula sebaliknya. Sekarang, tergantung pada setiap individu, bagaimana membatasi konsumsi jenis pemanis tambahan apapun agar tidak membahayakan kesehatan.