Misteri Mayat-mayat di Bangkai Kapal Batavia

Misteri Mayat-mayat di Bangkai Kapal Batavia

BIBLIOTIKA - Selalu ada kemungkinan masalah dalam perjalanan, baik di darat, udara, maupun di laut. Di udara, pesawat yang ditumpangi bisa meledak atau mengalami masalah hingga jatuh. Di darat, berbagai kecelakaan bisa terjadi, atau bahkan menghadapi kriminalitas yang bisa jadi ada di berbagai tempat. Sementara di laut, kapal yang ditumpangi bisa karam di tengah jalan, atau bahkan menghadapi serangan perompak.

Perompak adalah gerombolan di luat yang mengincar kapal-kapal yang berlayar, kemudian menyerang dan merampok benda-benda berharga di dalamnya. Tidak jarang, para perompak juga melakukan kekejaman hingga pembunuhan.

Terkait hal itu, banyak cerita mengejutkan dibalik bangkai kapal Batavia yang karam di pulau Beacon, lepas pantai Australia Barat. Setidaknya ada lima mayat penumpang Batavia yang ditemukan di tempat itu. Mayat-mayat ditemukan berjajar dengan kondisi terikat, dan anehnya tidak ada bekas tanda kekerasaan di tubuh mereka.

Bisa jadi, korban meninggal karena dehidrasi setelah karam dan sekaligus mencegah upaya "liar" bagi korban yang selamat untuk bertahan. Mereka saling mengikat. 

Lima awak kapal Batavia tersebut merupakan awak dari kapal perusahaan Hindia Belanda yang berlayar pada tahun 1629. Dalam dalam perjalanannya dari Belanda ke Jawa, kapal tersebut justru karam di perairan Australia. Ini tak hanya sekadar kapal Batavia yang karam, masih ada kisah tragis dibalik itu.

Sudah menjadi buah bibir, para penumpang Kapal Batavia sering dirompak dan dibunuh oleh para perompak saat berada di daerah Morning Reef, tak jauh dari Pulau Beacon.

Arkeolog menemukan tanda-tanda kekejaman perompak di kuburan massal di sebuah pulau di bagian barat Australia. Salah satunya adalah sebuah kerangka tanpa kepala milik seorang pria. Diduga dijagal perompak, lalu tubuh korban diseret ke tempat kuburan massal.

Arkeolog menjelaskan bahwa komandan kapal, Francisco Pelsaert, meninggalkan kapal untuk mencari sumber air terdekat. Sayangnya, dirinya harus turun kapal selama tiga bulan untuk mencari sumber air bagi kru kapalnya.

Hal ini memancing seorang pedagang bernama Jeronimus Cornelisz, yang terkenal tamak, untuk mengambil alih kapal dan melakukan serangkaian pembunuhan. Tak terkecuali perempuan dan anak-anak.

Kekejian baru berakhir setalah Pelsaert kembali ke kapal dan akhirnya melumpuhkan Cornelisz, dan para pemberontak pengikut Cornelisz dieksekusi.

Tapi semuanya sudah terlambat. Dari 282 penumpang, total ada 115 orang yang meninggal dan kebanyak di antaranya dibunuh. Pulau Beacon pun mendapat julukan Kuburan Batavia atau "Pulau Pembantaian".

Bagi Jeremy Green, kepala arkeologi maritim di Museum Western Australian, hal tersebut mengundang tanya. "Ini cerita yang cukup aneh, bukan? Saya belum pernah membaca sesuatu yang seburuk itu," kata pria yang sudah mempelajari bangkai kapal Batavia selama lebih dari 40 tahun.

Penelitian mengenai kapal ini memang sudah dilakukan oleh para arkeolog selama beberapa dekade. Dalam rentang waktu tersebut, beberapa korban kapal ditemukan.

Pada akhir 1980an, nelayan di Pulau Beacon menggali saluran pembuangan dari kamar mandi, dan mereka menemukan tulang manusia. Lantas pada tahun 1994, arkeolog mulai menggali situs tersebut, dan menemukan tiga kerangka orang dewasa, remaja, anak kecil, serta bayi.

"Sebanyak 10 individu telah ditemukan di bagian utama pulau Beacon dalam tiga tahun terakhir. Ini memberikan informasi baru yang berharga," kata Daniel Franklin  arkeolog dari University of Western Australia dikutip dari National Geographic.

Rencana lain untuk meneliti tragedi kapal Batavia juga diungkapkan oleh Liesbeth Smits, antroplog dari University of Amsterdam.

Ia berencana mengukur komposisi elemen makanan pada kerangka yang baru ditemukan, dan mengetahui apa yang dimakan korban. Dengan menggunakan teknik ini, ia berharap dapat melacak asal penumpang. Banyak penumpang Batavia ternyata tidak hanya berasal dari Belanda saja, namun juga Skandinavia, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Seperti diketahui, tahun 1620-an, Eropa berada dalam pergolakan Perang Tiga Puluh Tahun yang mengerikan. Belanda juga masih berjuang dalam perang kemerdekaannya selama beberapa dekade melawan Spanyol.

Saat itu, perang berkepanjangan membuat warga memilih untuk melarikan diri, dan bergabung dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda merupakan sebuah jalan keluar yang beresiko. Hanya satu dari tiga orang Eropa yang melakukan perjalanan pernah kembali selamat.

"Orang pindah dimana ada peluang. Mereka bisa diberi makan dan cukup dibayar dengan baik, jika beruntung mereka juga punya uang lebih," kata Jeremy Green, kepala arkeologi kelautan Western Australian Museum.

Dalam kasus Batavia, Smits berkata, "Anda tahu persis apa yang terjadi pada mereka dan betapa mengerikannya hal itu, [jadi] itu memang mendekati, tapi Anda harus tetap objektif."

Studi ini masih akan terus berlanjut. Rencananya tahun depan tim peneliti akan menerbitkan artikel ilmiah mengenai temuan mereka, dan menjelaskannya dalam publikasi tersebut.

Baca juga: Ancaman Virus Raksasa Kuno di Balik Es Arktik