Jika Dunia dan Manusia Tidak Mengenal Kaya Miskin

Jika Dunia dan Manusia Tidak Mengenal Kaya Miskin

BIBLIOTIKA - Kesenjangan sosial adalah isu yang ada di mana-mana, di negara mana pun. Orang-orang terkaya di dunia, yang jumlahnya hanya 1 persen dari populasi bumi, disebut menguasai 50 persen kekayaan di planet ini. Jika benar—dan kemungkinan memang benar—fakta itu tentu makin menunjukkan bahwa dunia berada di bawah kesenjangan sosial yang mengkhawatirkan.

Dalam kekhawatiran semacam itu, mungkin sebagian orang mengkhayalkan atau membayangkan, dunia akan menjadi tempat yang labih baik kalau saja kesenjangan sosial tidak ada, kaya dan miskin tidak ada, dan semua orang memiliki hak milik serta pendapatan yang setara. Meski mungkin agak utopis, membayangkan semua manusia hidup tanpa kesenjangan pasti akan menyenangkan. Tapi benarkah?

Para peneliti yang melakukan penelitian terkait hal itu menyatakan bahwa perbedaan terkait pendapatan orang per orang (kaya dan miskin) sebenarnya bukan masalah utama. Persoalan utamanya, kata mereka, adalah ketidakadilan. Beberapa orang diperlakukan secara istimewa, sementara sebagian lain diperlakukan tidak adil. Dalam hal itu, para peneliti sepakat bahwa kemiskinan dan ketidakadilan merupakan tantangan penting abad ke-21.

Terkait hal tersebut, ada penelitian menarik yang diterbitkan di jurnal Nature Human Behavior, pada April 2017. Penelitian itu berjudul Why People Prefer Unequal Societies, dan ditulis oleh tim peneliti dari Yale University. Penelitian itu mengungkapkan, bahwa manusia—bahkan sejak masih anak-anak dan bayi—sebenarnya lebih senang tinggal di dunia yang memiliki ketidaksetaraan.

Hasil penelitian itu mungkin bertentangan dengan intuisi atau harapan kebanyakan orang dewasa yang justru menginginkan kesetaraan. Jadi, bagaimana penelitian itu menjelaskan hal tersebut?

Jika orang menemukan diri mereka dalam situasi semua orang setara, penelitian itu menunjukkan bahwa banyak orang menjadi marah atau negatif jika orang yang bekerja keras tidak diberi imbalan, atau jika orang-orang yang kurang beruntung terlalu dihargai. Dengan kata lain, ketidaksetaraan perlu ada, sehingga orang yang bekerja keras mendapat lebih banyak, dibanding yang tidak atau kurang bekerja keras.

Ada penelitian lain yang menarik terkait hal ini. Sekelompok anak berusia 6-8 tahun ditugaskan membagikan penghapus sebagai imbalan untuk dua anak laki-laki yang telah membersihkan sebuah ruangan. Mereka diberi 7 buah penghapus, dan diminta memberikan lebih banyak bagi anak laki-laki yang bekerja lebih keras.

Berdasarkan pengamatan anak berusia 6-8 tahun tersebut, dua anak laki-laki yang membersihkan ruangan tadi bekerja sama baik, sehingga mereka kesulitan untuk menentukan anak laki-laki mana yang layak mendapat jumlah penghapus lebih banyak. Hasilnya, mereka menyerahkan 3 buah penghapus untuk masing-masing anak yang membersihkan ruangan, dan membuang 1 sisa penghapus yang tersisa.

Para peneliti menemukan, bahwa anak-anak itu sengaja memilih membuang 1 sisa penghapus tersebut, karena mereka berpikir itu lebih adil, daripada memberikannya pada satu anak laki-laki dan bisa menjadi bonus yang tidak adil.

Christina Starmans, psikolog pasca doktoral di Yale University, menyatakan, “Kami berpendapat bahwa persepsi publik tentang ketidaksetaraan kekayaan yang dianggap tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang adalah tidak benar, dan justru sebaliknya, yang benar-benar diperhatikan orang adalah ketidakadilan.

“Di AS sekarang, dan sebagian besar dunia, kedua isu ini membingungkan, karena ada banyak ketidaksetaraan, yang memunculkan anggapan bahwa hal itu pasti tidak adil. Tapi ini menyebabkan fokus yang salah pada ketidaksetaraan kekayaan itu sendiri sebagai masalah yang perlu ditangani, bukan masalah keadilan yang lebih sentral.”

Mark Sheskin, doktor kognitif pasca doktoral di Yale University, yang juga rekan Christina Starman, menuliskan temuan penelitian itu secara ringkas, “Orang-orang biasanya lebih memilih ketidaksetaraan yang adil, dibandingkan persamaan yang tidak adil.”

Berusaha menciptakan sebuah dunia tanpa perbedaan kekayaan, menurut para peneliti, bertentangan dengan persepsi orang tentang keadilan, dan itu berpotensi menyebabkan kondisi ketidakstabilan. Nicholas Bloom, profesor ekonomi di Stanford University, bahkan menyatakan, “Sebuah dunia tempat tidak ada kemiskinan memang terdengar agak utopis. Tapi jika masyarakat benar-benar setara—tapi tidak adil—maka akan berisiko ambruk.”

Mengapa bisa begitu?

“Alasannya terdengar wajar,” jawab Nicholas Bloom. “Orang-orang biasanya tidak bekerja, menciptakan sesuatu, atau berusaha, tanpa motivasi untuk melakukannya. Jika saya seorang pelukis, dokter gigi, atau tukang bangunan, mengapa saya bekerja selama 50 jam seminggu, jika semua yang saya berikan gratis?

“Dari pengalaman saya sendiri dalam mengelola orang, manusia sebenarnya menganggap hal itu tidak beralasan bagi mereka yang cenderung tidak mau bekerja keras ingin mendapatkan imbalan... tidak ada yang membuat orang lebih marah melihat orang-orang malas mendapatkan penghargaan dan promosi yang sama dengan mereka yang bekerja keras.”

Baca juga: Di Masa Depan, Bernapas pun Kita Harus Membayar