Masalah di Ukraina dan Perselisihan Rusia-Amerika (1)
BIBLIOTIKA - Di masa lalu, Amerika sudah tidak cocok dengan Uni Soviet, meski keduanya sama-sama menjadi sekutu ketika Perang Dunia II pecah. Ketika kemudian Uni Soviet runtuh, dan kini berubah nama menjadi Rusia, Amerika tampaknya tetap tidak cocok dengan negara tersebut. Ketidakcocokan itulah yang menjadikan Rusia dan Amerika selama ini tampak berseberangan.
Bukan hanya Amerika yang merasa tidak cocok dengan Rusia. Di sisi lain, Rusia juga tidak cocok dengan Amerika. Itu merupakan ciri khas dua pihak yang sama-sama merasa besar dan berkuasa, karena kenyataannya Rusia dan Amerika memang dua negara adidaya. Ketidakcocokan itu kemudian berubah menjadi konflik, yang tidak hanya bersifat politis, namun juga militer. Dan itulah yang paling dikhawatirkan dunia.
Benturan antara Rusia dan Amerika mulai terjadi pada tahun 2014, ketika mereka sama-sama terlibat perang di Ukraina. Perang Ukraina adalah perang yang terjadi antara milisi Ukraina Pro-Rusia dengan dukungan militer Rusia, melawan militer Ukraina yang didukung Barat. Perang itu telah menelan korban tewas lebih dari 7.000 jiwa, dari kedua belah pihak.
Milisi Pro-Rusia ingin agar Ukraina Timur—yang mayoritas berbahasa Rusia—merdeka dan bergabung dengan Rusia. Sementara pemerintah Ukraina di Kiev tetap ingin mempertahankan kedaulatannya atas Ukraina Timur, dan tidak ingin terlepas seperti Semenanjung Krimea.
Dalam masalah di Ukraina tersebut, secara tak langsung tentara Rusia dan tentara Amerika sudah berhadap-hadapan, karena ribuan marinir AS sudah didaratkan ke Polandia, yang tak jauh dari wilayah konflik di Ukraina, atas perintah Presiden Amerika, Barack Obama. Sementara tentara Rusia sudah membanjiri Ukraina Timur untuk mendukung pemberontak Pro-Rusia, atas perintah langsung Presiden Vladimir Putin.
Perang Ukraina dimulai pada awal 2014. Pada waktu itu, massa di ibu kota Kiev melakukan protes terhadap pemerintahan Presiden Ukraina Pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kemudian, Parlemen Ukraina Pro-Barat menyatakan Viktor Yanukovych tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai Presiden Ukraina. Menghadapi protes dan demonstrasi, sang Presiden lari ke Moskow uintuk meminta perlindungan sekutunya, yaitu Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Tidak lama setelah itu, terjadi kudeta parlemen terhadap pemerintahan Yanukovych. Milisi Pro-Presiden, yang dibantu militer Rusia, berusaha menguasai wilayah Semenanjung Krimea di Laut Hitam, yang berbatasan dengan Rusia. Di sana, 60 persen rakyat Krimea beretnis dan berbahasa Rusia. Selain itu, negara bekas Uni Soviet tersebut memiliki Markas Besar Armada Laut Hitam di Sevastopol, Semenanjung Krimea, termasuk pangkalan kapal induk dan kapal selam bertenaga nuklir.
Menyusul peristiwa tersebut, rakyat Krimea kemudian menyelenggarakan referendum, dan hasilnya 97 persen pemilih ingin bergabung kembali dengan Rusia.
Kenyataannya, sebelum menjadi milik Ukraina, Krimea memang telah menjadi milik Rusia selama 300 tahun, sejak direbut dari Turki Utsmani. Namun, pada tahun 1954, pemimpin Uni Soviet, Nikolai Kruchev, menghadiahkannya kepada rakyat Ukraina yang waktu itu masih menjadi bagian Uni Soviet, sehingga secara resmi Krimea menjadi wilayah kedaulatan Ukraina.
Menghadapi hasil referendum tersebut, pemerintahan sementara Ukraina di bawah Presiden Olaksander Turchynov—yang didukung Barat pimpinan Amerika Serikat—menolak. Bahkan, Presiden AS Barack Obama segera menelepon Presiden Putin, dan menegaskan bahwa AS serta dunia tidak akan mengakui apa pun hasil referendum itu, karena bertentangan dengan konstitusi Ukraina dan hukum internasional.
Sebagaimana Amerika Serikat, pemerintahan baru di Kiev menganggap aneksasi Krimea sebagai bagian dari upaya Kremlin untuk melanggengkan imperialisme Rusia seperti zaman Uni Soviet dulu, yang akhirnya bubar pada 1990.
Tetapi, seolah tak peduli dengan hal itu, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menandatangani perjanjian dengan pemimpin Krimea untuk menerima Republik Krimea dan kota Sevastopol menjadi bagian wilayah Rusia. Perjanjian itu menyusul keputusan parlemen Krimea yang mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina setelah hasil resmi referendum menunjukkan 97 persen rakyat Krimea memilih bergabung kembali dengan Rusia.
Menyusul pemisahan Krimea dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia, pihak Amerika dan Eropa memberikan sanksi terhadap Rusia.
Sanksi itu berupa pembekuan visa dan aset terhadap 13 pejabat tinggi Rusia dan 8 pejabat Ukraina, yang dinilai bertanggung jawab atas terjadinya referendum di Krimea. Diperkirakan, sanksi tersebut akan meluas menjadi sanksi ekonomi, sebagaimana yang dialami Iran sebelumnya.
Baca lanjutannya: Masalah di Ukraina dan Perselisihan Rusia-Amerika (2)