Mengapa Cinta Tidak Diajarkan di Sekolah
BIBLIOTIKA - Salah satu ‘kebiasaan aneh’ dari sekolah dan pendidikan formal kita adalah; mereka sangat hobi mengajarkan hal-hal yang sebagian besarnya tidak akan dialami oleh murid-murid dalam kehidupan mereka yang sesungguhnya. Kurikulum pendidikan kita seperti tidak memiliki dasar atau akar yang kuat dan lebih mirip dengan tumbuhan eceng gondok yang hidup di atas air; terlihat tumbuh dan berkembang namun akarnya tetap saja mengambang.
Cinta dan segala persoalan serta romantikanya, dan juga hubungan antar cowok-cewek, adalah salah satu hal yang pasti akan dialami oleh murid-murid sekolah dalam kehidupan mereka; bahkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah, sampai mereka lulus untuk kemudian menjalani hidup di luar dinding sekolah. Tetapi mengapa tidak pernah ada pelajaran cinta?
Mengapa tidak pernah ada guru yang berdiri di depan kelas dan berkata, “Nah, Anak-anak, hari ini kita akan mempelajari mengenai aksi dan reaksi perasaan cinta yang biasa kalian rasakan jika berdekatan dengan orang yang kalian cintai… Masih ingat bab minggu kemarin soal perlunya kita terbiasa menyatakan cinta kepada orang-orang yang kita kasihi?”
Sekolah dan sistem pendidikan formal kita mungkin merasa dirinya terlalu ‘agung’ jika harus mengajarkan cinta—mungkin karena mereka pikir cinta hanyalah bumbu anak remaja kemarin sore yang tak perlu terlalu dipikirkan, atau mungkin karena mereka menganggap cinta hanya sesuatu yang bersifat kodrati yang tak perlu repot-repot diajarkan, karena setiap orang akan dapat mengetahui tanpa harus mempelajari. Tetapi apakah benar begitu kenyataannya...?
Atau, mungkin sekolah dan pendidikan formal kita merasa tidak perlu mengajarkan cinta, karena mereka pikir mereka telah mengajarkan dan memberikan pelajaran moral, yang itu artinya cinta telah tercakup di dalamnya.
Well, cinta memang bagian dari moral, karena setidaknya cinta (memang) harus dibangun di atas landasan moral. Tetapi meyakini bahwa pelajaran moral sudah mencakup pelajaran cinta, itu sama sekali lucu sebagaimana meyakini bahwa mengajarkan soal kelautan telah mencakup pelajaran tentang ikan dan kerang-kerang. Bahwa ikan dan kerang adalah bagian ekosistem laut—itu benar. Tetapi menyatakan bahwa mengajarkan soal laut berarti juga telah mengajarkan soal ikan dan kerang—apakah benar…?
Jadi, mengapa cinta tidak diajarkan di sekolah?
Salah satu kemungkinan jawabannya—dan yang mengerikan—adalah; karena orang-orang yang menyusun kurikulum pendidikan, dan orang-orang yang mengajar di sekolah-sekolah itu, sesungguhnya masih bingung untuk tahu apa sebenarnya yang disebut ‘Cinta’. Mereka sendiri mungkin masih meraba-raba untuk memahami sepenuhnya apa itu cinta, sehingga mereka merasa tidak yakin dan tidak pede untuk mengajarkannya.
Studi yang dilakukan oleh W. Kephart menunjukkan bahwa dua dari tiga mahasiswa tidak tahu apa itu cinta. Itu adalah studi pada tahun 1967—dan studi itu tetap saja menghasilkan kesimpulan yang sama ketika dilakukan pada tahun 2000-an.
So, mungkin ada beberapa orang yang telah terpikir untuk memasukkan cinta sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah, mungkin sudah ada orang yang telah mengusulkan ide agar cinta menjadi bagian dari kurikulum pendidikan atau bahkan menjadi salah satu jurusan atau fakultas, tetapi… mereka kembali pada kenyataan yang mengerikan itu; bahwa mereka sendiri masih kebingungan untuk memahami apa sebenarnya yang disebut Cinta.
Akibatnya… murid-murid yang seharusnya mendapatkan pelajaran pertamanya mengenai cinta di tempat yang paling tepat (sekolah) justru mendapatkannya melalui tempat-tempat dan media-media lain yang relatif dapat mereka peroleh. Dan jika kemudian ‘pelajaran cinta’ yang mereka dapatkan justru membawa mereka kepada pemahaman yang keliru, siapakah kira-kira yang seharusnya paling bertanggung jawab…?
Idealnya, tentu saja, sebagai lembaga yang terhormat dan nirlaba (?) sekolah bisa menjadi tempat yang dapat mengajarkan cinta secara jujur, apa adanya, secara ilmiah dan sebagaimana mestinya. Tetapi… yeah, mungkin kita masih perlu menunggu sampai enam puluh tahun yang akan datang untuk bisa mendapatkan hal itu. Atau mungkin akan lebih lama dari itu, mengingat kita tetap saja belum dapat memahami cinta, meskipun telah merdeka selama lebih dari enam puluh tahun.